"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Berkata itu perak, sedangkan diam itu emas". Pepatah ini tentu sangat familiar di telinga kita. Tapi kadang juga disalahartikan, terutama oleh kaum istri. Ketika sang istri diam, tandanya berarti emas. Cepat-cepatlah bawa ke toko emas, pasti diamnya sembuh dan normal. Meski pelesetan, tentu itu dapat merusak makna pepatah di atas tadi. Sebab yang dimaksud diam di atas adalah tidak berbicara sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah dan sebagainya.

Ibnu Mubarak ditanya terkait apa maksud dari ucapan Lukman kepada anaknya yang berbunyi "Apabila berkata itu perak, maka diam itu emas" Ia menjawab, "Jika berkata dalam kebaikan adalah perak, maka diam dari berkata yang mengandung maksiat adalah emas." Dalam kitab Nashaihul Ibad, diam adalah ashamtu. Ashamtu yang dimaksud adalah assukutu yang berarti diam dari sesuatu yang tidak bermanfaat dalam urusan agama dan dunia, atau diam tidak membalas terhadap orang yang membencinya. Diam merupakan sebagian dari ibadah yang paling tinggi, karena kebanyakan kesalahan itu timbul dari lisan. Begitulah lidah, kecil bentuknya dan tidak bertulang, tetapi sangat membahayakan si pemiliknya.

Lisanu al-mari min khadami al-fuaadi, demikian bunyi pepatah dari Mahfudzat yang pernah penulis pelajari. Artinya lidah seseorang itu merupakan "perpanjangan tangan" hatinya. Atau dengan kata lain, ucapan seseorang menggambarkan bagaimana isi hati si pemiliknya. Jika ucapannya santun dan baik, maka hatinya juga sama dengan apa yang diucapkannya pula. Atau dalam pepatah yang lain, Al-kalamu sifatu al-mutakallimi, tutur kata merupakan gambaran sifat si penuturnya.

Jika tidak dapat menjaga diri (dari bahaya lisan), bisa menyebabkan banyak persoalan. Umpatan, tuduhan yang tak berdasar, mencari-cari kesalahan dan sifat lainnya, dapat menghinggapi siapa pun. Ujung-ujungnya banyak pihak yang tersakiti. Malahan, tidak hanya lisan yang berbahaya; tulisan pun kini punya peran yang sama bahayanya. Jagalah ucapan dan tulisan, agar tercipta suasana yang damai dan tenang. Renungkanlah pepatah yang satu ini, "Alkalamu yanfudzu maalaa tanfudzyhu al-ibaru" artinya perkataan itu dapat menembus apa yang tidak dapat ditembus oleh jarum.

Jika dirasa tidak berefek dengan pepatah diatas, mari renungi pula hadits ini "Bisa jadi seseorang itu mengatakan satu patah kata yang menurutnya tidak apa-apa, tetapi dengan kalimat itu ia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun". (HR. Tirmidzi).

Saat ini, berdiam diri dan menahan diri merupakan sebuah langkah yang sangat dianjurkan. Bukan karena tidak mampu melakukan atau mengambil tindakan, tetapi lebih kepada menjaga diri agar tidak memperkeruh suasana. Sebab langkah yang diambil bisa menyebabkan multi-tafsir dan diterjemahkan dengan sekehendak orang yang membacanya. Baik bisa dianggap buruk, bahkan yang buruk dibuat seolah baik. Jelas ini sudah tidak sehat dan berbahaya. Sehingga, alternatifnya adalah dengan diam.

Uzlah, Sebagai Solusi
Peran media yang kini begitu massif tidak dapat dibendung lagi. Satu-satunya filter yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi diri dari media sosial yang telah terkontaminasi hoaks dan cenderung memecah belah rakyat. Jika dalam diri tidak dibentengi dengan sikap diam, tentu yang terjadi adalah kita akan terbawa arus di dalamnya. Cara kongkritnya adalah, diam sejenak lalu renungi dalam-dalam akan dampak dari informasi yang telah diterima.

Dalam bahasan ilmu tasawuf, ada istilah uzlah. Proses uzlah dilakukan oleh seseorang yang ingin mengosongkan batinnya dari perkara-perkara yang menurutnya membuat sumpek atau kalut. Sehingga, ia ingin mengosongkan hati dan pikirannya dari kesumpekan tersebut, dengan cara berdiam diri di suatu tempat yang sepi dari keramaian dan hiruk-pikuk manusia (menyepi dan menjauh dari keramaian, semisal ke hutan atau goa-goa dst).

Cara beruzlah di atas, merupakan salah satu pendapat yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali. Mengasingkan diri secara menyeluruh (baik jasad dan ruh) ke tempat yang sunyi, sehingga menemukan ketentraman jiwa dan hatinya. Tentu, dalam beruzlah model ini diisi dengan amalan-amalan ibadah kepada Allah swt (bukan sekedar mengasingkan diri dari keramaian semata. Amat bahaya, bisa jadi yang datang bukan cahaya Allah, tapi setan yang masuk dalam dirinya). 

Mengasingkan diri dari manusia, agar menguatkan sinyal-sinyal ketersambungan dengan sang maha kuasa. Bagi mereka yang ingin memperoleh ketentraman hati dan ketenangan jiwa, serta mengolah hati agar lebih baik silakan beruzlah. Mencari kedamaian dalam diam, hanya akan diperoleh dengan cara beruzlah. "Tiada sesuatu yang sangat berguna bagi hati (jiwa), sebagaimana "uzlah untuk masuk ke medan berpikir (tafakur)" menurut Ibnu Athailah (al-Hikam).

Adapun pendapat yang lain, misalnya pendapat Imam "Atha, tidak perlu menyepi dari hiruk-pikuk dunia, cukup ruhnya saja yang dilatih dan didiamkan dari perkara keduniaan, sedangkan jasad tetap berinteraksi dengan manusia pada umumnya. Cukup hawa nafsunya yang ditekan dan ditahan untuk tidak terpaut cinta akan dunia. Misalnya, jika malam tiba, barulah ketersambungan itu dimaksimalkan, diisi dengan berdzikir, shalat malam, dan tafakur kepada Allah.

Proses uzlah merupakan cara yang efektif dalam menanggulangi permasalah hati dan diri dalam hal keduniaan, pun demikian untuk menjalin kelekatan dengan sang pencipta. Begitupula dengan masalah-masalah yang saat ini ada di sekitar kita. Berbagai cara sudah dilakukan, dan sesuai prosedur, lalu pihak-pihak yang terkait juga sudah turun tangan, tinggal kita sebagai penikmat (objek) di bawah, yang harus menahan diri dan merenungi dalam-dalam agar tidak memperkeruh suasana.
Perilaku pengguna medsos yang belum dewasa dan dengan mudahnya membagikan sesuatu yang belum tentu kebenarannya, merupakan momok yang sukar diselesaikan, bahkan menjadi tantangan sendiri bagi kita untuk terus terjaga. Mungkin waktulah yang akan menyadarkan mereka dengan sendirinya.

Dalam mengahadapi konflik pun demikian. Terkadang kita membutuhkan sikap diam dalam menanggapinya. Diam di sini bukan berarti acuh dan membiarkannya, tetapi lebih kepada merenung untuk mencari solusi dan bantuan dari petunjuk sang kuasa. Bukankah Rasulullah juga pernah melakukan kontemplasi ke gua hira? Cara yang dilakukan oleh Rasulullah bukankah sama dengan cara "diam" dari kegundahan yang beliau rasakan?

Namun jika belum ada cara untuk menyelesaikannya, maka diam menjadi solusi terbaik. Diam merenung dan berpikir sejenak untuk mencari jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapi. Bukan sembarang diam, melainkan yang dapat menimbulkan kedamaian yang hakiki, ketenangan dan kejernihan dalam hati, ketajaman dalam pikiran, kedalaman dalam akhlak yang baik, serta totalitas seseorang dalam penghambaannya kepada Illahi.

Penutup
Nabi bersabda "Shalat itu tiang agama sedangkan diam dari (ucapan dan perbuatan jelek) lebih utama daripada ibadah dan sedekah yang dapat memadamkan murka Allah. Puasa itu perisai dari siksa neraka, tetapi diam itu lebih utama. Jihad itu puncaknya agama, tapi diam itu lebih utama. Diam dari ucapan dan perbuatan jelek adalah ibadah yang paling tinggi." (Maqalah kesebelas, bab keempat)
Diam itu adalah perhiasan bagi orang yang alim dan selimut (penutup) bagi orang yang bodoh, dan diam itu rajanya akhlak. Diam juga mengandung hikmah yang banyak, akan tetapi sedikit orang yang melakukannya. Bila diam ini diamalkan dengan sebaik-baiknya, maka semua yang tidak diinginkan dapat dihindari. Akan tetapi jika belum bisa diam dengan sepenuhnya, setidaknya kurangilah sedikit kejelekan yang ada dalam diri.

Hiruk pikuk duniawi memang sungguh menggoda. Maka tidak aneh, jika dunia dengan segala pernak-perniknya selalu menjadi primadona di dalam hati manusia. Harta, jabatan, kekuasaan, wanita, dan lain sebagainya selalu memenuhi rongga-rongga hati setiap manusia, yang pada akhirnya melalaikan mereka dari hakikat tugas kehidupan yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah. (QS. Adz-Dzaariyaat [51] : 56) "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".

Hati akan sakit, dan mati. Jika sudah mati, maka akan merusak komponen-komponen lain dalam tubuh manusia. Perilakunya akan sulit dikontrol, sehingga setanlah pengendalinya. Alhasil orang yang sudah terindikasi memiliki hati yang mati, akan semakin jauh dari cahaya illahiah. Agar tidak terserang sakit yang semakin parah dan sukar disembuhkan, maka cara yang paling simpel dalam menghadapi dunia ini dengan cara diam sesuai dengan ketentuan di atas. Allahu'alam.

Amir Hamzah
Ngaji di UII. Tulisan ini diterbitkan buletin alrasikh pada tanggal 21/12/18. Nama penulisnya di buletin menggunakan nama Pandu Wiranta. Bisa dicek di alamat alrasikh.uii.ac.id
___
--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme