Shiam berarti alimsak atau menahan. Sedangkan menurut istilah adalah menahan diri dari segala yang membatalkan mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Lalu apa esensi dari menahan itu sendiri bagi seseorang yang menjalankannya? Apa saja yang dapat membatalkan puasa secara hakikat?

Menahan itu cakupannya luas. Menahan diri dari makan dan minum. Menahan diri dari nafsu seksual. Menahan dari perkara sia-sia, menahan dari semua hal yang tidak dianjurkan dalam agama. Jika hal ini dilakukan baik sengaja maupun tidak, maka esensi puasa itu telah rusak. Karena jika dikembalikan kepada asal katanya tadi.

Karena seseorang tersebut tidak bisa menahan diri dari hal-hal yang buruk maka menyebabkan esensi puasanya hilang. Tapi secara hukum fiqih puasanya tetap sah. Sebagai orang yang baru belajar tak apa, masih wajar. Belajar berpuasa, tingkatan puasanya baru sebatas menahan dari lapar dan dahaga saja.

Kenapa bersetubuh di bulan ramadhan pada siang hari dilarang, selain karena membatalkan puasa bersetubuh adalah aktivitas seksual yang harus dijaga pada saat berpuasa. Oleh karenanya, sesuatu yang dapat menimbulkan gairah seksual di bulan ramadhan hukumnya makruh (dibenci). Berpelukan dan berciuman yang berlebihan juga menjadi makruh, karena ditakutkan menimbulkan gairah seksual.

Menahan diri dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Semua aktivitas dan nafas pada bulan ramadhan didedikasikan untuk Allah. Beribadah secara khusyu dan betul-betul karena Allah. Dengan menahan segala sesuatu yang tadinya boleh adalah cara yang efektif untuk mendidik dan menundukan nafsu, batin yang tak nampak dari mata manusia.

Di dunia ini ada Lahir dan batin. Sesuatu yang tampak disebut lahir, sehingga penanggulangannya bisa diselesaikan dengan mudah. Tapi untuk yang sifatnya batin, ruhaniyah, tak mudah begitu saja. Oleh karenanya puasa ini adalah sebuah cara yang paling tepat untuk mendidik lahir dan batin. Secara lahir kita disadarkan untuk merasakan orang-orang yang kesusahan. Sedangkan secara batin, kita diajak untuk lebih patuh dan taat akan perintah Allah. []
  
  
Sepulang dari Masjid Kauman, kami mampir di tempat makan yang biasa kami kunjungi. Tapi malam itu begitu berbeda. Pelayanan nya sungguh tidak bisa, hingga kami harus menunggu lumayan lama. Bahkan beberapa orang yang memesan di meja sebelah kami juga merasakan hal yang sama. Saya mengetahui hal itu dari gerak gerik merek yang gelisah, serta sesekali mendatangi tempat pemesanan.

Bagi kami sungguh ini tak biasa. Awalnya kami membicarakan salah satu tempat makan yang penyajiannya super lama. Bahkan kami juga pernah memesan duluan, tapi pesanan itu tidak pernah datang. Lebih kecewa lagi ketika pengunjung yang datang setelah kami malah di dahulukan. Sungguh yang seperti ini membuat emosi dan mangkel di hati.

Untung masih punya hati dan mengingatkan pemiliknya. Tak lupa, sepulang dari makan biasanya saya berikan saran agar tidak diulangi lagi. Alangkah baiknya dicatat dan ditempelkan. Nanti ketahuan mana yang pesan duluan dan dapat duluan. Saya rasa, cara yang demikian lebih efektif dari pada harus masih menggunakan cara lama.

Setelah menunggu lama, akhirnya pesanan kami datang juga. Kami memsan Sop Ayam dua mangkuk dan tempe satu setengah porsi (enam potong). Tak lupa ada juga sepotong kol, setangkai daun kemangi dan satu potong mentimun. Tak ketinggalan juga yang selalu kami cari, yaitu sambal terasi goreng. Selain aromanya yang khas, pedasnya juga pas.

Karena sudah lama menunggu dan rasa lapar sudah tak tertahankan, akhirnya muncul niat untuk membalas dendam. Kuambil nasi dengan ukuran porsi yang agak besar, tapi karena bisanya tidak habis, akhirnya niat itupun kuurungkan. Kami makan dengan lahapnya, sampai-sampai sambalnya habis tak tersisa. Justru yang masih tersisa adalah tempenya.

Kenapa kami memesan sop? sebab malam-malam sebelumnya ketika ingin makan sop, ternyata sang pemilik tidak jualan. Akhirnya pada malam ini kesampaian juga. Perut kami terasa begitu kenyang dan rasanya sudah tidak tahan untuk tiduran. Mungkin karena efek terlalu kenyang. Sehingga shalat tarawih yang tadinya mau ditunaikan setiba di asrama, malah dinanti-nanti.

Setelah di kamar beres-beres dahulu, dan melakukan aktivitas sperti bisa. Tapi karena kasur yang menggoda, saya pun tak kuasa. Ndilalah bangun-bangun sudah waktunya sahur. Tapi karena masih kenyang memilih untuk mengakhirkan, sambil tiduran lagi. Eh, tiba-tiba terdengar sudah saatnya imsak. Dalam kondisi tiduran dan masih dalam kondisi ngantuk, akhirnya langsung berniat untuk puasa.

Entah apa yang terjadi rasa kantuk itu tiba-tiba datang lagi. Sekitar pukul sepuluh pagi saya tiduran, tapi rasa pegal-pegal itu seolah datang kembali. Tanpa sadarkan diri saya pun langsung tertidur pulas. Lagi-lagi bangun sudah setengah satu siang.

Ya Allah alangkah dzalim dan lalai hambamu ini akibat berlebihan.  Ya Allah, terimalah tobatku.

Ramadhan hari ke - 2


Ramadhan hari pertama masih bingung mau memilih menu buka puasa dengan apa. Karena kebetulan ada kawan yang datang berkunjung, akhirnya kutawari untuk berbuka di tempat yang gratis. Pilihan yang kutwarkan ada dua tempat, pilihan pertama di Masjid UGM dan pilihan kedua di Masjid Kauman. Karena beberapa pertimbangan, akhirnya kami memilih Masjid Kauman saja.

Di sana menu berbukanya tiap hari ganti, tidak tanggung-tanggung menunya cukup enak dan berkelas. Kalau dirupiahkan sau porsi bisa kenal 15 sampai 20 ribu. Ukuran harga segitu di jogja sudah tergolong mewah.

Bahkan dari beberapa sumber yang pernah saya baca, Masjid kauman itu menghabiskan dana bisa sampai 2 miliar khusus untuk acara bulan ramadhan saja. Hitungan ini menurut saya sudah dengan acara keseluruhan. Wajar saja jika dana yang dihabiskan begitu banyak, sebab selama bulan ramadhan kegiatan itu rutin dilakukan. Untuk pencermah saja selama satu hari ada tiga orang. Kajian sebelum berbuka, Tarawih dan kajian bada subuh.

Masjid Kauman yaitu Masjid yang masih berada di lingkungan Keraton Yogyakarta. Sesampainya di sana, malah tidak kebagian makan. Maklumlah sudah menjadi lautan manusia. Tapi Alhamdulilah masih dapat ta'jilan berupa roti, beberapa butir kurma dan air mineral. Sebetulnya kedatangan kami tidak telat-telat amat dan jarak ke waktu berbuka puasa juga masih lama.

Setelah mengambil beberapa butir kurma, roti dan air mineral kami mendengarkan tausiah dari penceramah. Tidak menunggu beberapa lama adzan magrib pun berkumandang. Setelah niat berbuka dan menyantap tiga butir kurma, kami langsung berwudhu, alasannya supaya tidak kena antrian. Kalau sudah mengantri shalat magribnya bisa telat.

Mungkin karena salah niatnya kurang baik, akhirnya allah tunjukan seketika itu juga. Tapi meski tidak kebagian nasi toh kami juga masih bisa makan di tempat bisa. Semua yang sudah terjadi cukup diambil hikmahnya saja, dan dijadikan sebagai sebuah pelajaran untuk ke depannya.

Catatan Khusus | Ramadhan 1436 H
Hari ke - 1


Tiga kata yang harus dihindari ketika sedang marah atau ada konflik dalam rumah tangga. Tiga kata itu adalah Ancaman, Ungkapan benci dan mengucapkan kata selalu dan tidak pernah.

Pertama, kata ancaman. Apapun bentuknya, ancaman itu tidak akan memberikan dampak yang positif. Sebab dalam ancaman itu ada sebuah pertanda bahwa kalau jika ia demikian maka konsekuensinya adalah ini dan itu. Ada rasa ketidaknyamanan dan ketidaktenangan dalam diri seseorang yang diancam.

Ketika seseorang terancam, maka yang akan terjadi adalah perbuatan nekat. Misalkan ancaman seperti ini “jika kamu tidak masak lagi, maka aku akan meminta cerai denganmu..” ketika ada masalah dan istri lupa karena kesibukannya maka mau tidak mau semuanya akan jatuh. Istri juga merasa bosan dengan ancaman yang tidak membuat dirinya nyaman.

Sekali lagi ancaman tidak akan memperbaiki masalah, tetapi malah sebaliknya.

Kedua, mengucapkan ungkapan benci. Kebencian itu akan melahirkan kebencian juga, ucapan istilah itu yang sering kita dengar. Memang betul adanya demikian, apalagi jika kita membenci seseorang misalnya, tentu apapun yang ia lakukan akan kita benci juga. Jika sudah benci apapun yang ia lakukan selalu menjadi hal yang buruk dan penuh dengan perasangka.

Misalkan kita membenci si A.  Si A ini rajin shalat dan berjamaah di masjid. Kebencian yang ada dan yang kita pupuk subur itu mengatakan bahwa si A itu rajin ke masjid hanya ingin dilihat atau pamer saja. ibadahnya gak ikhlas dan sebagainya. Atau misalkan ia rajin sedekah dan menolong. Karena sudah terlanjur membencinya kita merasa panas, begitu ia menyumbang masjid hanya beberapa lembar rupiah terus dikomentari.

Tidak bisa dibayangkan jika kebencian itu lahir dan tumbuh pada sepasang suami-istri. Suami merasa benci dengan sang istri karena keteledorannya, tidak bisa memasak, tidak dapat mengatur keuangan keluarga dan lain sebagainya. Kebencian itu semakin menjadi dan selalu muncul dalam sebuah kata-kata kotor dan tidak sepatutnya terlontar.

Jika sudah demikian, maka hubungan itu sudah tidak sehat lagi. Sehingga solusi yang paling tepat adalah menyadari kekurangan masing-masing dan saling memaafkan. Setelah saling memaafkan barulah membangunnya dengan bersama-sama. Ini cara yang paling baik, menurut hemat saya.

Ketiga, ucapan selalu dan tidak perah. Kamu itu selalu saja tidak mendengar ucapanku… padahal baru kali itu istrinya tidak mendengarkan ucapan suaminya, itu pun karena anaknya sakit dan ia harus membeli obat dengan segera. Tapi apalah daya, kejadian itu begitu cepat dan tiba-tiba ada motor yang menabrak dirinya.

Kamu tidak pernah memberiku kebahagiaan. Benarkah selama sekian lama menikah, tidak pernah merasakan kebahagiaan. Jika tidak pernah, kok bisa lahir anak-anak dan punya tempat tinggal, pekerjaan, pakaian yang rapi-wangi, serta masakan yang setiap kali dinikmatinya. Jika itu bukan sebuah kebahagiaan berarti sungguh teganya.

Lantas apa arti kebahagiaan menurut kamu selama ini?.. kebahagiaan itu sederhana, manakala kamu mau bersyukur maka disitulah kamu akan menemukan sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Ucpan selalu dan tidak pernah, seolah-olah menafikan dari rasa syukur yang seharusnya ada pada diri seorang suami.

Sepulang ziarah dari Magelang, kami menyempatkan diri mampir di angkringan dekat masjid Prayan-Jogja. Malam itu kami kurang beruntung, sebab tak ada pilihan lain selain mie dan minuman panas. Sate dan jeroan yang masih tersisa tampaknya sudah dingin dan tak bergairah untuk disantap.

Kami memesan minuman Teh dan kopi, dan tak ketinggalan untuk mengganjal perut kami memsan mie. Sambil menunggu pesanan kami jadi, bapak yang jualan mengajak diskusi terkait penyelenggaraan dan penetapan satu ramadhan itu serempak. "Pak Jokowi memang hebat, tahun ini tidak ada yang bentrok..." papar sang penjual angkringan.

"Yang hebat itu menteri agamanya Pak. Soalnya inikan kegiatan rutin tahunan, jadinya sudah lebih lihai dalam mengkoordinir masalah ini. Kelihatan lebih cerdas dan lebih sigap. Pujiku untuk menteri agama Lukman Hakim.

"Sebetulnya ini karena para tim yang diutus oleh kemenag tidak ada yang melihat bulan, kalaupun bulan terlihat posisinya sangat sulit karena masih di bawah dua derajat. Kalau pun sudah kelihatan dan posisinya di bawah dua derajat maka kesaksiannya ditolak.." papar sahabatku karena kebetulan dari hukum islam.

Diskusi terus berlanjut, hingga menyinggung dua ormas islam yang cukup besar. Perbedaan yang sudah ada seharusnya tak dijadikan masalah dan diyakini bahwa kedua-duanya adalah benar. Tapi sangat disayangkan jika masih ada yang mengklaim bahwa kebenaran itu mutlak hanya satu saja. Jika sudah demikian, maka sing bener iku yo punyaku, punya sampeyan salah.. jika sudah seperti ini jadi berbahaya.

Ketika mendengar awal pembicaraan diskusi, sebetulnya saya sudah sudah bisa menebak kemana arahnya diskusi ini. Tapi saya berusaha tetap bisa saja menanggapinya, sebab kalau dijelaskan ini dan itu tetap ngeyel. "Saya itu orang bodoh mas, tapi ya saya percaya dengan teknologi.. jadi yang seharusnya tidak perlu lagi ada perbedaan..." Kata bapaknya. Inilah salah satu bukti ucapan yang saya tangkap.

Perhitungan yang sudah ada pada zaman rasulullah itu ya ada dua cara. Kedua cara tersebut digunakan oleh rasulullah. Ketika cara ruyatul-hilal (melihat bulan) sudah dilakukan, tetapi bulan tidak tampak maka menyempurnakan bilangan bulan Syaban menjadi 30 hari. Ini cara sederhananya. Tetapi karena kemajuan teknologi semuanya menjadi lebih mudah.

Hanya saja masih kriteria dalam melihat bulan yang berbeda. Ada wujudul hilal dan mumkinu ruyat. Dua kriteria ini yang sampai saat ini belum menemukan titik temu, sebab jika kedua kriteria ini masih kukuh maka perbedaan itu akan tetap terjadi. Untuk lebih jelas silakan baca ARTIKEL ini!

Perbedaan itu tak akan terelakkan. Tapi, sebagai seorang muslim yang baik menghormati perbedaan itu sangat dianjurkan. Tak apa hari rayanya berbeda, puasanya juga berbeda, yang penting itu ibadah puasanya diterima. Untuk apa mempermasalahkan hari raya yang tidak serempak dan kompak, tapi ibadah puasanya tidak pernah dipikirkan. Ingat, utamakan yang lebih utama.

Bukan hari raya yang dijadikan patokan, tetapi yang dijadikan tolak ukur adalah ibadah ramadhan. Jika ibadah ramadhan yang kita lakukan tidak ada dampaknya, itu berarti sama saja bohong..! Output dari puasa ramadhan adalah meningkatkan ibadah dan ketakwaan, jika tidak ada perubahan sama sekali rasanya sangat disayangkan.

Tak usah menggembor-gemborkan perbedaan. Bukan itu fokus kita, tetapi fokuskan saja kepada ibadah puasa yang dijalani. Fokus agar puasa yang saat ini dijalani tidak hanya sekedar menahan rasa haus dan lapar saja. Selamat berpuasa...

Sudah menjadi kebiasaanku dalam menyambut bulan Ramadhan selalu diisi dengan ziarah kubur. Tahun 2009 silam, aku ditemani Erik ketika ziarah ke Banten. Sepulang dari ziarah, kami bertemu dengan teman baru yang dipertemukan dengan cara yang sangat unik. Dari situ rupanya semua kisah ini dimulai. Tapi, kisah itu kini hanya tinggal kenangan, karena kami terpisahkan oleh jarak dan waktu.

Tadi malam (16/06/15) Aku dan sahabatku mengunjungi Gunung Pring di daerah Magelang untuk berziarah. Tujuan keberangkatan kami adalah untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan. Kami berangkat bada sholat Isya, kira-kira pukul delapan malam lebih lima belas menit. Selain karena suasana malam lebih sejuk dan nyaman, alasan kami yaitu waktu kosongnya ya hanya malam hari.

Motor bebek yang kami tumpangi melesat meninggalkan Jogja malam itu juga. Satu jam perjalanan yang kami tempuh rupanya membuat sedikit kelelahan. Ditambah lagi untuk sampai ke tempat ziarah, kami harus menaiki anak tangga. Untunglah, karena niat yang ikhlas rasa lelah pun hilang selepas mengambil air wudu sebelum menaiki anak tangga.

Selepas tiba di atas, kami mengambil ari wudu lagi dan langsung mencari posisi untuk berziarah. Para peziarah begitu ramai dan seolah tak ada sepinya. Sehingga para peziarah yang lain harus bergantian untuk mengikuti tahlilan bersama.

Sekitar 20 menit kami berdoa dan membaca tahlil, setelah selesai kami langsung turun dan menuju motor di tempat parkir. Sempat mengambil beberapa jepretan untuk dokumentasi. Tak lupa juga, sebelum pulang kami mampir di pesantren Darussalam. Kebetulan anak pimpinan pesantren tersebut adalah teman kuliah kami juga.

Segelas energen  panas  yang dihidangkan, setidaknya membantu mengusir rasa dingin yang menyelimuti kami malam itu. Setelah obrolan kami dirasa cukup, kami pun izin pamit untuk pulang. Perjalanan Magelang-Jogja tengah malam penuh dengan tantangan, terutama rasa dingin yang menusuk. Dinginnya angin malam begitu terasa, bahkan menusuk tulang. Meski rasa dingin itu begitu terasa di kaki, Tapi tetap kutahan hingga sampai di Jogja.

Beberapa dokumentasi yang sempat kuabadikan :












Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabuut [29] : 2-3)

Hambar dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) diartikan dengan sesuatu yang tidak ada rasanya, tawar, atau tidak bergairah. Tetapi hambar itu hakikatnya lebih ke arah rasa masakan. Makanan akan terasa nikmat jika memiliki jenis rasa manis, asin, pedas, dan asam. Inilah komposisi rasa yang paling mendominasi dalam lidah manusia, terutama orang Indonesia.

Rasa sambal terkenal dengan pedasnya. Meskipun pedas rasanya, tetapi kita tetap menyukainya. Bahkan ada istilah tobat sambal, yaitu tobatnya hanya ketika memakan sambal saja. keesokan harinya, pasti sambal itu akan dimakan lagi, malah katanya tidak puas jika makan tanpa sambal. Pedas tetapi tetap disukai.

Garam terkenal dengan asinnya. Semua makanan yang dihidangkan pasti minimal memiliki rasa asin. Ketika ibu memasak di dapur, maka garam ini tak pernah lepas dari bumbu dapur. Begitu pun dengan rasa manis dan pedas. Kesemua rasa ini memiliki rasa yang khas dan terasa lezat di lidah.

Jika makanan yang dihidangkan tak memiliki unsur rasa yang empat ini, maka masakan itu akan diklaim sebagai makanan yang tidak enak. Sebab makanan yang enak yaitu harus memiliki rasa salah satu dari empat tadi. Sehingga begitu penting sebuah rasa bagi manusia. Tanpa rasa, maka dunia ini tak berarti.

Apa jadinya jika di dunia ini empat rasa ini dihilangkan atau diangkat oleh Allah. Jika terasa ekstrim contoh ini, coba kita ambil contoh yang lainnya. Misalnya lidah yang saat ini kita miliki itu mati rasa, dalam artian tidak mampu merasakan semua rasa yang ada di dunia ini. Apakah ia akan merasa nikmat ketika makan? Tentulah semuanya terasa sama saja.

Sebuah Rasa
Rasa manis, pedas, asam, atau asin itu dapat kita rasakan ketika memakan sesuatu, semua itu berpangkal pada kemampuan lidah. Yaitu sepotong daging yang lunak dan tanpa tulang. Bentuknya kecil dan berwarna kemerahan. Apa jadinya jika lidah itu sariawan, atau terluka? Tentu, ketika proses mengunyah makanan pasti akan terasa sakit.

Tak hanya itu, lidah itu berfungsi sebagai alat untuk berbicara, itulah sebabnya konon orang yang lidahnya pendek tidak bisa mengucapkan huruf 'R' dengan jelas. Bahkan dalam sebuah pepatah yang sering kita dengar yaitu "lidah lebih tajam dari pada pedang…" artinya ucapan itu lebih tajam dari pada pedang.

Ucapan bisa menembus sesuatu tanpa harus melukai bagian luarnya oleh karenanya harus berhati-hati dengan lidah. Pepatah lain misalnya, “berkata peliharakan lidah, berjalan peliharakan kaki...” Artinya, ketika berbicara harus memperhatikan ucapan, supaya tidak menyakiti orang lain  dan ketika berjalan memperhatikan jalanan. Jika sembarangan bisa menimbulkan masalah.

Rasa sakit yang diakibatkan oleh lidah tak mampu disembuhkan dengan dengan resep dokter. Itulah kenapa Almarhum Zainuddin MZ. selalu mengakhiri tausiahnya dengan sebuah ungkapan yang sangat puitis. "Jika pedang lukai tubuh, masih ada harapan sembuh. Jika lidah lukai hati kemana hendak obat dicari...." sakit yang timbul karena lidah memang tak ada obatnya.

Tak jarang, orang yang karena tidak pandai menjaga lidahnya berakhir dengan pertengkaran, kerusuhan dan banyak juga yang berakhir dengan kematian. Kalau kita perhatikan, kasus kejahatan dan pembunuhan yang sering terjadi, adapun motif utamanya adalah tidak terima karena sang korban tak mampu menjaga lidahnya.  Ia sakit hati, tidak terima dan  akhirnya gelap mata.

Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bisa saja di luar kehendak kita. Kita kembali ke judul di atas. Suami istri yang sudah menikah, bisanya akan mengalami kehambaran. Sahabat saya pernah mengatakan bahwa usia perkawinan itu sebetulnya hanya satu tahun, selebihnya hanya mempertahankan hubungan perkawinan. Kenapa demikian? karena ada kehambaran di sana.

Setiap hari  sering bertemu, melakukan hal yang sama dan berulang-ulang. Manusia yang memiliki sifat jenuh akan merasa biasa dan tak ada yang spesial dari kehidupannya. Itulah kenapa disebut dengan mempertahankan perkawinan. Karena ditengah-tengah pengulangan itu keduanya menjaga hubungannya untuk tetap terjalin dengan baik. Itulah kenapa romantisme kehidupan dua insan itu ketika awal-awal pernikahannya.

Setelah satu tahun, punya anak dan banyak pekerjaan semuanya semakin berubah. Semua menjadi biasa, tak lagi se-istimewa dahulu kala.




Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme