Biar hujan ade berhentinye. Biarin kali ade ujungnye. Biarin laut ade tepinye. Apapun yang terjadi dan apapun yang bakal terjadi, cinte kite kagak ade ujungnye, kagak ade tepinye...

Itulah janji Bajuri buat Oneng. Film komedian yang syarat dengan adegan lucu dan negbuat penonton ngakak sangat perlu buat ditonton. Apalagi buat yang sedang lagi banyak pikiran memikirkan kehidupan.

Bajuri yang santai dan tetap tenang dengan caranya dalam menghadapi permasalahan. Terutama masalah dengan ketidaksukaan mertuanya yang sering menjelekan Bajuri di hadapan Oneng (istrinya).

Jawaban dan pertanyaan yang kelaur dari mulut Oneng, sering kali unik dan tak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Mungkin karena saking 'pinter'nya. Justru dengan kekonyolan itulah film ini bagi saya terkesan berkelas dan keren banget.

Berpikir cerdas dan mentertawakan kehidupan dunia ini adalah sebuah keharusan. Kadang harus cerdas, kadang juga harus bego-begoan. Asal jangan jadi bego beneran aja.

Bajuri yang hanya berstatus sopir bajaj, tetapi punya mimpi dan keinginan yang tinggi, terutama untuk membahagiakan sang isteri tercinta. Uang hasil warisan dari kakeknya ia gunakan untuk membeli rumah baru.

Punya uang banyak, identik dengan stigma buruk di masyarkat. Mulai dari selingkuh, bahkan nyari istri lagi. Inilah yang disangkakan oleh mertuanya Bajuri. Tetapi sekali lagi Bajuri tak sedikitpun punya niat untuk ke arah sana. "Cinte aye cuma buat Oneng seorang..."

Biar hujan ade berentinye. Biarin kali ade ujungnye. Biarin laut ade tepinye. Apapun yang terjadi dan apapun yang bakal terjadi, cinte kite kagak ade ujungnye, kagak ade tepinye... - Bajuri & Oneng -


Fikri, tak mendapatkan dukungan dari Abah untuk kuliah. Abah lebih senang jika Fikri bisa menggantikan marbot masjid yang kini sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Tetapi Fikri menolak dan ia mengaku bukan bidangnya.

Suatu ketika Fikri hanya ingin menjual hasil lukisannya ke Bandung. Ia lebih suka seni ketimbang ngaji. Tetapi ketika itu Abah lagi-lagi melihatnya dengan sinis, sehingga keluarlah ungkapan yang menyayat hati Uminya.

"Kalau kamu berani keluar dari pintu itu, mendingan gak usah balik sekalian..."

Seketika itu Umi langsung ke kamar dan menyerahkan bungkusan kecil dari tangannya sekembali dari kamar. Tak lupa cincin yang menempel di jari Umi juga diserahkan kepada Fikri. Sebelum diserahkan, cincin itu dicium agak lama..

"Ini cincin kalau kepepet, jual ajah.. Umi ridho..."

Fikri meninggalkan rumah, karena sudah 'diusir' oleh Abah yang tak pernah menuruti keinginannya. Begitulah sikap anak laki-laki dan Abahnya yang kata Umi sama-sama berwatak keras.

Setelah meninggalkan rumah, di Bandung Fikri setelah susah payah akhirnya bisa menjadi seorang pelukis lumayan diperhitungkan. Karya lukisannya banyak diminati dan sampai ada salah seorang fans yang tergila-gila dengan lukisan Fikri.

Dalam sebuah lukisannya Fikri sempat melukis seorang anak yang sedang menangis dalam pelukan ibunya. Lukisan ini logikanya "Ketika Tuhan Jatuh Cinta.." kalimat itulah yang muncul ketika  Fikri menjelaskan lukisan hasil dari karyanya.


Film keren dan syarat dengan makna. Nilai-nilai pendidikan, terutama cara mendidik juga disinggung dalam film ini. Konflik keluarga, kisah cinta, dan perjuangan diperlihatkan dengan jelas dalam film berdurasi sekitar satu setengah jam.

Sempatkan untuk menonton ya !

"Kalau kamu berani keluar dari pintu itu, mendingan gak usah balik sekalian..."

Minggu-minggu ini banyak banget kegiatan yang saya ikuti, mulai dari bedah buku, promosi doktor dan diskusi di UIN Sunan Kalijaga. Bahkan pergi ke toko buku sudah mulai saya seringkan, meskipun hanya numpang membaca di sana. Tak ketinggalan acara Cak Nun di Fakulats Hukum UII juga saya ikuti tentang 'sarasehan budaya' 2015.

Bersama teman-teman dan kadang sendirian kegiatan itu saya niatkan untuk memperbaiki dan membuat kebiasaan yang baik sebagaimana seperti apa yang disampaikan oleh Ust. Felixiaw dalam bukunya.

Dalam bukunya yang berjudul How to Master Your Habits di sana dijelaskan bahwa motivasi itu hanya memiliki peran 11% saja, adapun keahlian memiliki peran 35%, sedangkan sisanya yaitu yang berjumlah 54% adalah pembiasaan atau habits.

Ketika membaca buku ini saya pun tercengang dan merasa sadar, bahwa apa yang dilakukan manusia semuanya karena kebiasaan. Dari kebiasaan itulah akhirnya seseorang mahir dan menjadi professional dalam melakukan hal-hal yang sudah sering ia jadikan kebiasaan.

Contoh yang paling riil adalah pesulap. Teknik sulap yang ia perankan sebetulnya sudah beribu kali dilakukan, sehingga akhirnya ia bisa dan mehir dalam mengolah atau memindahkan benda dari satu tempat ke tempat yang lain. Jika kita runtut dan melihat tatacaranya tentu sulap itu enggak menarik, Cuma gitu doang, kalau saya juga latihan pasti bisa.

Contoh yang pertama kali diberikan oleh ust. Felix dalam bukunya yaitu membaca arab gundul (tanpa tanda baca atau harakat), di sana beliau mengambil teks tentang khilafah. Bagi yang belum terbiasa tentu tidak tahu cara membacanya, bagaimana cara membacanya, ini dibaca a, i, atau au. Pokoknya susah bagi yang belum pernah sama sekali.

Lalu dalam halaman selanjutnya, ustad Felix memberikan tulisan arab gundul, tetapi tulisan arab gundul tersebut sudah sering kita baca, yaitu surat al-fatihah. Ketika melihat tulisan al-fatihah yang sudah sering kita baca, maka tak perlu lagi bingung dengan cara membaca, bahkan sudah hafal dengan sendirinya.

Keduanya sama-sama arab gundul, hanya saja ada kebiasaan yang membedakannya. Karena sering membaca surat al-fatihah, maka kita bisa baca, dan mengenal tulisannya tanpa kesulitan. Tetapi di arab gundul yang pertama tentu kita mengalami kesulitan karena belum ada yang namanya kebiasaan dalam membacanya.

Seseorang yang sudah sering dan memiliki kebiasaan dalam hal itu, tentu tidak akan mengalami kesulitan. Tak heran jika ada orang Indonesia yang tidak pernah tinggal di arab tetapi mampu mengucapkan dan berbicara arab dengan sangat fasihnya, atau contoh-contoh yang lainnya. Intinya yaitu karena adanya pembiasaan.

Betapa indahnya jika kebiasaan yang baik ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka semua apapun, kalau dibiasakan akan menjadi sebuah ilmu/kemampuan baru yang laur biasa. Salah satu contoh yaitu Imam Syafi’I yang sudah hafal alquran dalam usia 7 tahun.

Ternyata Imam Syafi’I mampu hafal alquran dalam jangaka waktu usia 7 tahun waktu itu cukup wajar, sebab ibundanya seorang hafidzah dan terbiasa mengkhatamkan alquran dua kali dalam seminggu. Dan seusia teman-temannya sudah terbiasa menghafal al-quran. Sekali lagi ini adalah sebuah kebiasaan yang dibangun oleh lingkungan dan dukungan dari orang terdekat.

Jika ingin seperti Imam Syafi'i kita juga bisa, asal mau membiasakannya. Yuk ubah kebiasaan yang saat ini ada dalam diri, terutama kebiasaan yang buruk. Jangan mimpi dapat istri solehah jika kebiasaan-kebiasaan buruk masih sering dilakukan. Jangan harap dapat memperbaiki masa depan jika apa yang dilakukan saat ini tidak mendukung untuk meraih masa depan yang ingin kita capai.

Ketika berkunjung ke toko buku toga mas, saya menemukan kata-kata yang luar biasa. Jika tidak salah isi tulisannya sebagai berikut :

Satu-satunya keberuntungan yang dimiliki oleh orang-orang yang hebat adalah dilahirkan dengan kemampuan dan ketetapan hati untuk mengalahkan ketidakberuntungan...

Apapun kondisi kita saat ini, maka habits atau kebiasaan itulah yang akan kita bawa dimasa yang akan datang. Ketika kebiasaan berdekatan dengan asma-asam Allah, tadarus, shalawat, dzikir dan lain-lainnya, bukan tidak mungkin ketika hendak meninggal maka kalimat-kalimat toyyibat itu akan kita ucapkan. Kebiasaan yang sudah melekat dan mendarah-daging menjadi kesatuan yang tak dapat terpisahkan.


Seperti biasa, pukul 6 pagi kami sudah bersiap untuk bermain futsal. Lapangan Gaol tempat biasa kami main sudah diboking dari semalam, biar enggak keduluan sama yang lain. Bahkan karena saking seringnya main di sana, semuanya sudah hafal dengan kami.

Pada waktu itu kami berjumlah 15 orang, maka 5 orang harus rela nunggu giliran main futsal. Sistem permainan kami sederhana, setiap tim yang unggul dua gol duluan maka berhak untuk stay di lapangan.

Sedangkan yang kalah dua gol tadi, harus meninggalkan lapangan, dan digantikan dengan 5 orang yang baru. Inilah peraturan yang kami buat dan sudah menjadi kebiasaan. Tapi jika yang bermain hanya 10 orang, ya terpaksa mainnya sampai bel dibunyikan.
#

Ketika sedang asyik bermain dengan teman-teman, tak disangka sepagi itu ada sosok artis yang sering mejeng di televisi. Sempat ragu dan tidak percaya. Tapi, setelah tahu di UGM ada acara tentang memerangi korupsi dan artis tersebut kebetulan adalah salah satu pengisinya, maka kami semakin percaya, ditambah lagi memang mirip mukanya.

Setelah kalah dua gol, kami menepi ke sisi lapangan. Akhirnya saya pergi dari kamar ganti sekaligus kamar mandi untuk mencuci muka. Sekembalinya dari cuci muka ku coba untuk menyapa sang artis tersebut. Malahan ketika itu tanpa basa-basi lagi.

 “Mas panji ya?..” tanganku diulurkan ke Mas Pandji.

Owh iya. tapi jangan deket-deket juga mukanya...” Jawab Mas Pandji agak kaget sedikit.

Begini Mas, teman-teman Saya yang di sana itu.. mau minta foto bareng, boleh gak?..” tanyaku langsung.

Boleh kok, jangan rame-rame ya.. oh iya tapi satunya sepuluh ribu.” Mas Pandji sambil mengajak bercanda.

Ku panggil teman-teman. Sambil menunggu mereka mendekat, kami ngobrol sebentar.

Mas Pandji nanti ngisi acara ya di UGM..?” tanyaku singkat.

Iyah, tapinya enggak tahu jam berapa..” terus Mas Pandji sempat nanya ke teman sampingnya.

Mas Pandji, kalau mau maen futsal main ajah bareng kita….” ajaku.

“Iyah santai ajah, ini juga sebentar lagi anak-anak pada datang..” jawab Mas Pandji.

Akhirnya teman-teman berkumpul di dekat kami dan langsung foto bareng. Dua kali jepretan kalau tidak salah, tapi sayang kamera yang digunakan kualitasnya enggak bagus. Entahlah yang megang filenya siapa. Fotonya enggak perlu-perlu amat sih, tapi yang penting itu menyapa dan bisa ngobrol dengan sang artis langsung, sudah lebih daripada cukup.

Sebagai pengetahuan singkat saja, Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo (lahir di Singapura, 18 Juni 1979) adalah seorang penyiar radio, presenter televisi, penulis buku, penyanyi rap, dan pelawak tunggal di Indonesia. (data ini diambil dari wikipedia). Sebagai informasi juga, Mas Pandji biasa main sebagai kiper.

Pengalaman yang terbilang cukup unik banget. Sebab tempat yang biasa kami datangin ini ternyata didatangi artis juga. Keunikan yang selanjutnya adalah, kami tidak perlu mencari artis-artis tersebut, malahan mereka sendiri yang datang ke lingkungan kami. Kerenkan??



"Orang munafik adalah orang yang banyak mencela, dan merasa dirinya lebih baik dibandingkan saudaranya" (HR Tirmidzi)

Benda yang satu ini sangat familiar, sering dijual di toko bangunan, bahkan di pinggir jalan. Tetapi sadar atau pun tidak, benda ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Bayangkan, bagaimana rasanya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu kita tidak akan pernah tahu akan rupa diri kita sendiri. Bahkan bagi sebagian perempuan, keberadaan cermin itu tidak bisa lepas dalam aktivitas keseharian, kemana-mana biasanya cermin itu selalu dibawa.

Misalnya saja, untuk membetulkan kerudung yang kurang pas, mereka (perempuan) tak segan untuk izin ke kamar kecil. Padahal tujuannya cukup simple, ya hanya untuk membetulkan kerudungnya. Tanpa ada bantuan cermin rasanya terkesan ribet. Bagi sebagian wanita yang senang dandan tentu cermin kecil selalu menemani kemana pun mereka pergi.

Ketika make-upnya dirasa sudah luntur, alisnya mulai tipis, lurus dan lain-lain, tak segan mereka mengeluarkan cermin kecil dari dalam tas mungilnya. Sebetulnya, tak jauh berbeda juga dengan laki-laki yang senang dengan fashion. Hanya saja laki-laki biasanya cukup bercermin di rumah, atau malah lebih berani, apapun yang bisa memantul bisa dijadikan cermin.

Inilah fenomena kecil yang sering kita jumpai, yang begitu penting dalam kehidupan sehari-hari dan tak bisa dipisahkan dari hidup kita. Apa jadinya jika hidup ini tidak ada cermin, tentu rasanya ada sesuatu yang hilang. Penulis sempat merasakan pengalaman yang luar biasa dan tidak mengenakan.

Salah seorang teman pernah mengalami hal ini. Kala itu selama sepuluh hari Ia ditugaskan untuk menjalankan salah satu program dari kantornya. Ia ditempatkan di desa terpencil dan di puncak sebuah bukit yang diapit oleh dua gunung menjulang ke langit. Karena berada di atas ketinggian, rasa dingin adalah santapan setiap hari, tak peduli siang maupun malam hari.

Karena mengalami kondisi alam yang berbeda, banyak sekali perjuangan yang harus dihadapi. Harus terbiasa dengan cuaca dingin, jarang mandi (sehari cukup satu kali, itu pun mandinya dilakukan pada siang hari). Perjuangan yang lain yaitu tidak menemukan cermin, hanya ingin sekedar melihat wajah atau melihat keadaan rambut. Maklum karena akses ke kota lumayan jauh dan jalannya yang rawan.

Ada rasa rindu dan kangen dengan wajah. Bagaimana bentuk dan perubahan, apa saja yang sudah terjadi selama ini. Rasa keingintahuan  itu luar biasa muncul. Alangkah kaget bukan kepalang ketika ia bercermin, ternyata wajahnya mengelupas seperti kulit ular, ada sisik-sisiknya juga. Setelah dicek, ternyata hanya faktor air dan iklim saja, sehingga menyebabkan wajahnya demikian.

Cermin Diri
Itulah pentingnya cermin. Selain untuk mengetahui perubahan dan perkembangan yang ada pada manusia. Cermin juga sering digunakan untuk aktivitas lain, dan pekerjaan itu sangat simple. Merias wajah misalnya, dan ini kebiasaan perempuan. Kalau laki-laki paling mencukur kumis, dan janggut. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw agar selalu merawat diri, salah satunya ilah mencukur rambut, kumis dan lain-lain.

Jika pekerjaan yang satu ini tidak dibantu dengan cermin, tentu harus menggunakan jasa orang lain. Bayangkan jika pengerjaan yang sederhana ini harus dilakukan oleh dua orang saja, terkesan ribet bukan? Dengan adanya cermin, pengerjaannya bisa lebih mudah dan ringan, karena tidak perlu dilakukan dengan banyak orang.

Makna bercermin yang dimaksud adalah cermin yang bermakna  hakiki (hakikat), yaitu cermin yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun bercermin yang bermakna majazi (majas) adalah cermin diri. Cermin ini sering diartikan sebagai introspeksi diri (bercermin ke diri sendiri, setelah melihat/membandingkan ke orang lain yang lebih baik).

Tujuannya ialah membandingkan diri dengan orang lain, apakah yang kita lakukan itu sudah seperti mereka ataukah belum (dalam hal ini terkait kebaikan). Sehingga dengan adanya cermin diri ini, memacu seseorang untuk menjadi lebih baik lagi. Sebagaimana perintah Rasulullah untuk memiliki prinsip, “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin…”

Cermin adalah benda yang paling jujur sedunia. Apa yang ada didepannya ditampilkan secara utuh. Tidak ada manipulasi, atau disembunyikan darinya. Dan yang paling penting adalah, cermin tidak pernah sekalipun memberikan komentar tentang apa yang didepannya. Keistimewaan inilah yang dimiliki oleh sebuah cermin. Apa jadinya jika cermin itu bisa berbicara dan mampu memberikan penilaian bagi siapapun yang ada di depannya?.

Bercerminlah !
Nu'man bin Muqrin berkata: "Bahwasannya ada seorang laki-laki mencaci orang lain disisi Nabi Saw, kemudian orang yang dicaci mengatakan: "Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu." Lalu Nabi Saw bersabda: "Ketahuilah bahwasannya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu; setiap kali orang ini mencacimu. Malaikat itu berkata kepadanya: "Tetapi engkau, engkaulah yang lebih berhak terhadap cacian itu; dan jika engkau mengatakan: "Mudah-mudahan keselamatan tercurah atasmu", maka malaikat itu berkata: "Tidak, tetapi engkau, engkaulah yang berhak terhadapnya." ( HR. Ahmad)

Sebelum mengeluarkan ucapan kepada orang lain, apalgi mencaci, silakan bercermin kepada diri sendiri.  Sudah betul-betul baik atu masih belajar baik? Untuk itu menjaga lisan dari seuatu yang dapat mengotorinya adalah tugas kita besama masing-masing. Jika ada yang salah, silakan ingatkan dengan cara dan ucapan yang baik.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu; Siapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal siapa tuhannya. Ini adalah salah satu cermin diri yang baik. Mengetahui dirinya sendiri dalam rangka mengetahui siapa sang penciptanya. Dengan mengetahui kekurangn diri, maka akan semangkin merasa lemah dan tidak berdayannya diri.

Mengenal Diri, itulah suluk. Suluk adalah fase-fase perjalanan hidup untuk pada akhirnya mengalami realitas sejati. Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq. Hanya dengan menyadari ia hina, maka ia mengerti Allah Maha Tinggi.

Hanya dengan mengenal jatidiri, maka makhluq mengenal Khaliq.  Dengan menyadari ia najis, maka ia mengerti Allah Maha Suci. Hanya dengan mengaku telah berbuat salah dan dosa, serta bertobat, maka manusia akan mengerti bahwa Allah Maha Pengampun.

Ihtitām
Orang yang bahagia yaitu orang yang ‘ngaca’ terhadap dirinya. Dai sejuta umat, Alm. Zainudin Mz pernah menyampaikan tausiah tentang ciri-ciri orang yang bahagia. Pertama, ingat akan kesalahan yang pernah diperbuat. Mengingat kesalahan dan dosa untuk menjadi lebih baik, baru kemarin berbuat dosa, ini nambah lagi. Kedua, melupakan kebaikan yang pernah dilakukan (merasa kebaikannya belum cukup). Ia merasa belum pernah berbuat baik, sehingga merasa rugi kalau tidak berbuat baik.

Ketiga, dalam urusan dunia melihat kebawah. Artinya timbul rasa syukur. Masih banyak yang sengsara dari dirinya, ketika menemui kesulitan, ia berpikir masih banyak yang merasakan kesulitan dibandingkan dengannya. Keempat, dalam urusan akhirat ia melihat ke atas. Si Pulan bisa puasa sunah, kenapa saya tidak. Dia bisa ngaji, kok saya enggak. Iri terhadap dunia dilarang, iri dalam kebaikan sangat dianjurkan.

Untuk itu mari bersama-sama kita bercermin, tentunya dengan menggunakan cermin yang baik. Jika selama ini cermin yang kita gunakan itu belum baik, mari mulai detik ini juga diubah dan perlahan untuk meninggalkannya. Semoga kita diberikan kemudahan dan kekuatan oleh Allah SWT untuk selalu berada di jalan yang lurus, wa ihdinsshiratha al-mustaqiim.

terbit di alrasikh.uii.ac.id 13 Maret 2015


Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme