Setiap pendidikan yang ada di wilayah atau daerah tertentu pasti memiliki perbedaan. Mulai dari kualitas, mutu, manajemen dan kualitas guru itu sendiri. Pendidikan yang ada di kota pasti lebih baik dibandingkan dengan yang ada di daerah pedesaan atau jauh dari kota. Apalagi antara sekolah yang berlabel negri dengan sekolah yang hanya berlabel swasta. Perbedaan tersebut pasti sangat mencolok, dan kedua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika standarisasi ujian nasional (UN) dijadikan sebagai nilai kelulusan bagi lembaga sekolah, hal ini sangat tidak sesuai dan terkesan memaksa. Perbedaan pendidikan tidak bisa seenaknya sisamakan, lebih-lebih diukur dengan standarisasi yang belum jelas arahnya. Maka, tidak bisa begitu saja memutuskan kelulusan siswa. Pasalanya sudah jelas, pendidikan di Negara kita ini berbeda dan tidak bisa disamakan.
Sekloah yang bagus kualitas gurunya tentu akan menghasilkan murid-murid yang bagus pula, akan tetapi jika sekolah yang hanya memiliki kualitas gurunya standar tentulah menghasilkan murid yang standar pula. Hal ini bisa dibuktikan dengan bagaimana mereka mengerjakan soal UN yang dibuat oleh diknas.
Guru yang ada di desa dengan yang ada di kota sangat jauh perbedaanya. Guru yang di kota mereka bisa mengakses soal-soal yang terbaru, dan dipredikisi akan keluar di ujian Nasional. Tetapi jika guru yang ada di desa mereka hanya mengandalkan buku-buku ujian nasional yang belum tentu ada di soal UN. Sebetulnya masalah mereka hanya satu, yaitu tidak cukup biaya untuk memiliki soal-soal yang terbaru.
Masalah yang demikan harus menjadi acuan dan menjadi evaluasi terhadap standarisasi UN, dalam menentukan kelulusan siswa. Saya lebih sepakat jika ujian nasional hanya sebagai standarisasi antar sekolah yang ada di Indonesia, bukan standar kelulusan siswa.
Standarisasi sekolah yang dimaksudkan adalah hanya merupakan evaluasi sekolah-sekolah yang ada di seluruh Indonesia, jika hasil UN mereka jeblog atau tidak memuaskan maka yang harus di cari adalah ada maslah apa dengan sekolah tersebut. Jika kekurangan guru yang berkualitas, maka pemerinah mengirimkan guru yang berkualitas tersebut ke sekolah yang bersangkutan. Jika manajemennya kurang baik, maka pemerinah memberikan pelatihan kepada sekolah tersebut, khususnya untuk para guru agar mampu menerapkan manajemen yang baik.
Perlu dipahami dan dihayati bahwa pendidikan bukan sesuatu hal yang bisa begitu saja terlihat hasilnya, melainkan butuh waktu yang lama. Oleh sebab itu maka pendidikan harus di evaluasi dan dirancang sedemikan rupa untuk mampu menghasilkan pendidikan yang mampu bersaing dengan dunia luar dan dunia kerja. Tujuan dari standarisasi ini memang baik, tetapi butuh proses yang lama dan harus mengalami perubahan lagi. Agar lebih efisien dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat luas.
Inti dari pendidikan adalah bagaimana menciptakan manusia yang mampu bersaing dengan negara lain. Harapan ini dapat terwujud bilamana semua konsep pendidkan dijalankan dengan benar dan diterima oleh semua masyarakat dengan nilai kejujuran dan nilai kewajiaban yang melekat dalam hati mereka. Sehingga memahami betul makna dari standarisasi tersebut seperti apa dan arahnya kemana.
Kultur Budaya
Budaya mencontek dan plagiat memang sudah bukan rahasia, tetapi sudah menjadi hal yang biasa. Ujian Nasional menjadi ternodai dengan maraknya pemberi kunci jawaban yang diragukan keabsahannya dan ini menjadikan siswa enggan belajar serta mengandalkan bantuan kunci jawaban tersebut. Padahal kunci jawaban tersebut belum tentu kebenarannya. Kunci jawaban tersebut, siswa peroleh dari seseorang yang tidak jelas. Bahkan mereka ada yang sampai mengumpulkan uang untuk membeli kunci jawaban tersebut. Satu mata pelajaran berfariasi harganaya, biasanya ada yang 1 sampai 2 juta. Merekapun terpaksa iuran satu kelas untuk dapat kunci jawaban tersebut, harapan mereka hanya satu yaitu bisa lulus UN.
Saat ini ditambah lagi dengan pihak sekolah yang menjadi penolong, pasalanya kepala sekolah tidak mau nama baiak sekolahnya tercoreng gara-gara tidak ada yang lulus UN dari salah satu muridnya. Sehingga sekolah tersebut berusaha meluluskan siswa-siswanya dengan jalan apapaun. Demi kebaikan bersama, dan tidak menimbulkan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan, maka saya sepakat jika UN lebih baik dihapuskan saja. Buat apa jika hanya memperparah perilaku lembaga sekolah, dan mencoreng nama pendidikan. Walaupun sebetulnya cara mensiasati UN itu yang salah, bukan kesalahan di system UN-nya. Lagi-lagi ini merupakan sebuah budaya, hal ini sangat sulit untuk dibasmi ataupun dihilangkan secara cepat, melainkan butuh proses yang lama.
Saya menyatakan bahwa adanya perbedaan di setiap sekolah itu harus
diakui, karena hal itu wajar, karena secara tinjauan psikologis,
sosiologis, dan geografis semuanya berbeda, dan tak akan mungkin sama.
Pendidikan jika ingin diubah maka harus pelan-pelan, toh perubahan itu
butuh proses. Jika perubahan ngotot dilakukan, maka konsekuensinya
adalah penyelewengan-penyelewengan dalam dunia pendidikan tidak mungkin
bisa terelakkan. Pasalnya pihak sekolah tidak menginginkan hanya
gara-gara UN, nama baik sekolah mereka tercoreng.
Miskin Keteladanan
Bangsa yang besar adalah yang menghargai para pahlawan nya. Saat ini jangankan menghargai para pahlawan bangsa, mengenal namanya saja tidak. Jika ingin bukti, bisa ditanyakan langsung kepada siswa salah satu sekolah terkait masalah ini. Diperparah lagi dengan “keteladan pemimpin” negri ini yang mengatasnamakan rakyat, demi kepentingan pribadi dan golongannya. Sehingga dengan “keteladanannya” ia memeras, menindas, menyiksa, dan memakan uang rakyat, sungguh biadab.
Pepatah yang sering kita ungkapkan “guru kencing berdiri murid kencing berlairi” kini pepatah itu telah berubah, menjadi “guru kencing berlari murid mengencingi guru.” Inilah yang terjadi saat ini. Alasan yang mandasarinya adalah karena guru saat ini miskin keteladanan, sehingga siswa tidak lagi meghormati guru melainkan menjadi musuhnya disekolah.
Guru tak lagi digugu dan ditiru, melainkan menjadi sosok yang hanya pekerja kantor yang libur setiap hari sabtu dan minggu. Proses pendidikan di kelas sangat lemah, bahkan hanya ala kadarnya saja. Guru hanya memerintahkan siswa untuk mencatat dan membaca, begitulah setiap harinya. Jika seperti itu terus, kapan siswa memperoleh transfer of value dari seorang guru pengajarnya??...
Epilog
Peran seorang guru tidak bisa dipisahkan dari setiap murid atau siswanya. Gurulah yang berperan besar dalam dunia pendidikan, dari sekolah TK, SD, SLTP, SLTA dan Kuliah. Tanpa peran guru tidak mungkin siswa bisa menjadi pintar, dan mampu mengusir kegelapan yang ada di dalam hidupnya. Pepetah mengatakan “belajar tanpa guru bisa menjadi sesat” disinilah arti pentingnya seorang guru. Guru yang baik adalah mereka yang memberikan keteladanan bagi murid atau siswanya, bahkan mereka bisa menjadikan guru sebagai orang tua yang kedua setelah ibu dan bapak mereka.
Seorang guru harus bisa menempatkan diri mereka sebagai kakak, teman, guru, dan orang tua. Empat keperibadian ini, jika diterapkan dalam keseharian guru dan melekat pada seorang guru, pastilah siswa akan menghormati, menyenangi dan menyukainya. Saya meyakini empat kepribadian tadi, sudah mewakili dari kompetensi dasar seorang pendidik.
Negri ini butuh pahlawan tanpa jasa (guru) yang mampu menanggulangi bobroknya moral negri ini. Sehingga dengan sentuhan-sentuhan pendidikan yang ia ajarkan kepada murid/siswanya mampu menjadikan mereka orang-orang yang besar, berkarakter, berkepribadian baik, dan bermoral. Hingga pada akhirnya membawa negri ini keluar dari broken country.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.