Ridha berasal dari kata radhiya (fi'il madhi) - yardha (fi'il mudhor'i) yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridha berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam, yaitu: ridha Allah kepada hamba-Nya dan ridha hamba kepada Allah (Al-Mausu'ah Al-Islamiyyah Al-'Ammah: 698) . Ini sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firman-Nya,
Ridha tidak sama dengan pasrah. Ridha cenderung menjadikan manusia aktif, sedangkan pasrah sebaliknya; yaitu pasif. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. artianya kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman :
Ridha itu adalah derajat yang paling tinggi dibandingkan dengan sabar, tawadhu, dan lain sebagainya. Seperti apa yang disebutkan oleh Abu Nashr As-Sarraj, ada tujuh tingkatan maqam yaitu: tubat, wara’, zuhud, faqru, shabr, tawakal, dan ridha. Alangkah sangat jauhnya tingkatan ridha tersebut, sehingga tidak mudah memiliki sikap ridha yang sesungguhnya. Kadang mulut yang mengatakan ridha, akan tetapi hati sebetulnya masih gondok atau marah dan masih ada rasa tidak senang.
Tingkatan Ridha
Pertama, tidak hubb ad-dunya (cinta dunia). Cinta dunia atau cinta kepada sesuatu hal yang bersifat keduniaan (hubbubdunya) merupakan penyakit setiap manusia yang berpikir pendek. Sedangkan orang yang berpikir panjang ia akan meninggalkan jauh-jauh sifat ini, karena hidup ini hanyalah singkat dan tidak lama. Dengan demikian ia berpikir unuk mencari sesuau hal yang kekal dan menjalani urusan keduniaanya dengan sewajarnya saja.
Kedua, Khusnudzon (berbaiksangka) kepada Allah. Apapun yang diberikan allah kepada dirinya, entah itu ujian yang berupa kesengsaraan aaupun kesenangan akan ia terima dengan ungkapan syukur. Baginya apapun cobaan yang datang akan diterima dengan lapang dada karena semuanya sudah kehendak allah den segala musibah yang dibebankan kepada hambanya yaitu dengan kesanggupan hamba tersebut.
--------------------
'' ..Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.'' (QS 98: 8).Sedangkan menurut Ustadz Muhamad Roy, MA. selaku pemimpin Pondok Pesantren UII atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Pondok Pesantren Ashabul Kahfi; beliau mengatakan bahwa ridha adalah perasaan senang ketika mendapakan musibah atau pun kesenangan. Jadi antara musibah dengan kenikmatan sama saja, tidak ada bedannya bagi orang yang betul-betul memiliki sikap ridha ini.
Ridha tidak sama dengan pasrah. Ridha cenderung menjadikan manusia aktif, sedangkan pasrah sebaliknya; yaitu pasif. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridha. artianya kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman :
''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.'' (QS 13: 11).Lain halnya dengan pasrah, karena pasrah itu cenderung tidak ada usaha sama sekali dengan apa yang telah ia terima dari sang pencipta.
Ridha itu adalah derajat yang paling tinggi dibandingkan dengan sabar, tawadhu, dan lain sebagainya. Seperti apa yang disebutkan oleh Abu Nashr As-Sarraj, ada tujuh tingkatan maqam yaitu: tubat, wara’, zuhud, faqru, shabr, tawakal, dan ridha. Alangkah sangat jauhnya tingkatan ridha tersebut, sehingga tidak mudah memiliki sikap ridha yang sesungguhnya. Kadang mulut yang mengatakan ridha, akan tetapi hati sebetulnya masih gondok atau marah dan masih ada rasa tidak senang.
Tingkatan Ridha
Pertama, tidak hubb ad-dunya (cinta dunia). Cinta dunia atau cinta kepada sesuatu hal yang bersifat keduniaan (hubbubdunya) merupakan penyakit setiap manusia yang berpikir pendek. Sedangkan orang yang berpikir panjang ia akan meninggalkan jauh-jauh sifat ini, karena hidup ini hanyalah singkat dan tidak lama. Dengan demikian ia berpikir unuk mencari sesuau hal yang kekal dan menjalani urusan keduniaanya dengan sewajarnya saja.
Kedua, Khusnudzon (berbaiksangka) kepada Allah. Apapun yang diberikan allah kepada dirinya, entah itu ujian yang berupa kesengsaraan aaupun kesenangan akan ia terima dengan ungkapan syukur. Baginya apapun cobaan yang datang akan diterima dengan lapang dada karena semuanya sudah kehendak allah den segala musibah yang dibebankan kepada hambanya yaitu dengan kesanggupan hamba tersebut.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...... (QS. Al-Baqarah [2]: 286)Ketiga, Ihklas. Orang yang ikhlas (muhlis) tidak biasanya tidak neko-neko dan bersikap apa adanya. Ia tidak menimbang sesatu secara berlebihan, walaupun perbuatan tersebut merugikan dirinya dan membahayakan dirinya. Menurut dekan Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Drs. H. Dadan Mutaqien, SH. MHum., “jika kita ingin mengalahakan syetan maka syaratnya adalah kita harus memiliki sifat ikhlas dengan segala sesuatu hal, dengan demikian syetan akan merasa terkalahkan dan tidak lagi mampu menggoda manusia”. Ikhlas yaitu hanya mengharapkan balasan allah tidak dari yang lain.
Sedangkan menurut Bapak Junaidi, MA. selaku dosen pengampu mata kuliah tasawuf. Beliau mengatakan bahwa ikhlas dan sabar merupakan tingkatan tertinggi dalam ilmu tasawuf. Ikhlas adalah menerima semua pemeberian dari Allah swt. (yang enak maupun tidak enak) sedangkan sabar adalah menyadari akan prosesnya. Allahu'alam []
*Prolog Makalah Filsafat Akhlaq
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.