Puasa ramadan merupakan perintah Allah SWT yang dibebankan kepada manusia yang sudah memenuhi syarat, salah satunya yaitu sudah baligh. Baligh itu ada tendensinya, jika dilihat dari segi umur yaitu untuk laki-laki 15 tahun sedangkan untuk perempuan sembilan tahun.

Adapun parameter kedua setelah umur yaitu apabila sudah mengalami "mimpi basah" untuk laki-laki dan menstruasi untuk perempuan. Secara ilmu fiqih, puasa diartikan menahan diri dari segala yang membatalkan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Menahan diri dari makanan, tidak bersetubuh di siang hari dan hal-hal yang mampu membatalkan puasanya. Jika melihat kepada ilmu fiqih tentu siapapun sudah bisa dipastikan mampu melaksanakannya, dan inilah yang kebanyakan kita lakukan di bulan ramadhan sebelum-sebelumnya.

Maksudnya adalah puasa yang kita jalani hanyalah sebuah ritual yang menggunakan kacamata ilmu fiqih. Lalu bagaimana ketika kita berpuasa tetapi tidak pernah sholat lima waktu, selalu berkata kotor, dan keburukan-keburukan lainnya? Apakah puasa kita memiliki nilai? Apakah tidak berpengaruh dengan puasa kita?

Di sini lah kenapa kita tidak harus berpuasa hanya menggunakan kacamata ilmu fiqih saja. Dalam ilmu fiqih, ketika kita berpuasa tetapi tidak salat dan berkata kotor, selama tidak makan, minum dan yang dapat membatalkan lainnya, tentu puasanya tetap sah. Tetapi dalam ilmu tasauf puasa yang kita lakukan hanyalah perbuatan sia-sia. Allah SWT tidak butuh dengan puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga semata.

Dimensi Ganda
Jika ditinjau dari aspek lain, secara vertikal puasa itu merupakan keshalihan individual sedangkan secara horisontal mengarah kepada keshalehan sosial. Betapa tidak, ketika kita berpuasa secara tidak langsung rasa kepekaan sosial itu telah tumbuh. Sehingga para fuqaha menyebut puasa itu dengan amalan yang berdimensi ganda; yaitu vertikal dan horisontal.

Tak hanya puasa saja, banyak amalan yang memiliki dimensi ganda, salah satunya adalah berqurban, seperti yang kita lakukan pada hari raya ‘Id Al-Adha. Ibadah puasa tidak hanya mendekatkan diri kepada Allah swt semata, tetapi bagaimana menumbuhkan sikap kepedulian kita terhadap sesama.

Kepedulian terhadap orang lain yang memiliki nasib yang tidak seberuntung dengan saudaranya yang lain. Mereka hidup dalam kekurangan, keterbatasan dan kesulitan. Itu lah kenapa Allah SWT memberikan keringanan kepada orang yang tidak mampu berpuasa supaya menggantinya dengan memberi makan orang miskin (QS. Al-Baqarah [2]: 184)

Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab, ia berkata: Membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Berkenaan dengan orang tua yang sebelumnya biasa berpuasa lalu karena ketuaannya dia tidak mampu lagi berpuasa, dan wanita hamil yang tidak ada kewajiban puasa atasnya, maka bagi setiap orang dari kedua  golongan ini ada kewajiban memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang dilewatinya dalam bulan Ramadan.

Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang fidyah, tetapi mereka sepakat dengan memberi makan orang miskin (fidyah) ini. Hanya saya yang menjadi perbedaan di antara fuqoha dalam ukuran fidyah itu sendiri yang harus diberikan kepada orang miskin.

Selain itu, kita dianjurkan untuk membayar zakat (bagi yang mampu). Zakat ditunaikan guna mensucikan jiwa dari sifat kikir, tamak, dan cinta kepada harta (hubb ad-dunya) serta membersihkan harta dari hak orang lain yang melekat pada harta seseorang. Bahkan zakat juga membersihkan hati dari rasa dengki terhadap orang yang berharta, dan zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka.

Dalam al-Qur’an perintah untuk mengeluarkan zakat diulang sebanyak 33 kali yang hampir seluruhnya disebut setelah perintah melakukan salat. Hal ini mengisyaratkan bahwa perintah mengeluarkan zakat sejajar dengan perintah shalat, sehingga diharapkan terwujudlah keseimbangan antara manusia dengan Allâh dan manusia dengan sesamanya. (hablun min an-nas wa hablun min allâh) (At-Taubah [09] : 103).

Adapun mereka yang berhak menerima zakat ada delapan golongan (At-Taubah [09] : 60). Itulah hikmah kenapa perintah sholat disandingkan dengan printah berzakat. Sebab menurut Ust. Toto Tasmara, dalam bukunya. Ketika sholat yang kita lakukan dalam bentuk ibadah ritual formal (gerakan takbir hingga salam) selesai, tetapi sejatinya "salat aktual" (dalam bentuk ibadah sosial) kita belum selesai. Justru dengan salat aktual inilah kita berlomba-lomba untuk mendapatkan “tiket” masuk supaya bertemu denganNya. (Al-Kahfi [18] : 110)

Penutup

Seperti sudah disampaikan di awal, bahwa puasa memiliki nilai ibadah yang berdimensi ganda, salat, zakat pun demikian. Dengan ibadah-ibadah seperti ini seharusnya seorang muslim mampu menjadikan dirinya lebih baik lagi. Keshalihan individual tidak berguna jika keshalihan sosial kita abaikan. Keduanya harus berjalan berdampingan, tidak boleh dibiarkan terpisah.

Selain diperintahakan untuk mentaati Allah SWT dan Rasulullah saw kita juga diperintahakan supaya berbuat baik. Sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda: khair an-nas ‘anfa’uhum li an-nas “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain”. Itulah kenapa dua keshalihan itu sangat dianjurkan.

Alhamdulillah saat ini kita berada dibulan ramadan, yang mana bulan ini merupakan pendidikan bagi diri kita. Mendidik supaya memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Tak hanya itu, di bulan yang suci ini kita seolah ditunjukan bahwa siapa sesunguhnya diri kita yang sebenarnya. Seberapa besar kualitas ibadah, kepedulian, dan seberapa kuat istiqamah yang kita miliki. Allahu’alam.[]

_______________________-
Tulisan ini, diterbitkan kampus.okezone.com dalam kolom Opini (sumber)

--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme