Di tulisan yang sebelumnya, saya sempat menyinggung salah satu sahabat yang ingin menikah muda. Tetapi sahabat saya yang satunya lagi, mereka sudah sama-sama mendapatkan restu dan ridho dari kedua orang tuanya, hanya saja mereka belum mau buru-buru. Alasannya sederhana, menikah itu hanya bukan mencari kesenangannya tetapi bagaimana setelah menikah??

Kedua sahabat saya ini memang memiliki cara pandang yang berbeda mengenai pernikahan. Mungkin sahabat yang ngebet ingin nikah memiliki pandangan bahwa menikah itu pembawa rizqi. Dengan menikah tentu rizqinya akan ditambah, semangatnya pula bertambah karena ada yang memotivasi, melayani serta berbagi, sang istri lah tentunya.

Bagi sahabat saya yang satunya lagi menikah itu harus betul-betul mapan. Ketika menikah semuanya sudah ada, dan tinggal menikmatinya. Punya pekerjaan tetap, rumah, dan kendaraan pribadi, barulah menikah. Mungpung masih belum banyak pikiran, jadi fokus mempersiapkan semuanya dulu untuk masa depan. Kalau bisa biaya resepsi pun dari uang sendiri, bukan dari orang tua.

Bagi saya pribadi, menikah itu pilihan. Jika sudah siap dengan segala konsekuensinya ya kenapa tidak. Toh semuanya sama-sama baik, dan tujuannya juga baik. Bagi yang mampu menikah muda dengan modal nekat ya monggo, pasalnya banyak yang berhasil juga. Bagi yang memilih mapan dulu juga ya tak masalah. Diserahkan kepada individu masing-masing.

Dalam sebuah kelas, Ustad Hasyim menyampaikan kepada kami, bahwa apabila seorang anak itu sudah baligh maka orang tua sudah tidak berkewajiban mengurusnya, begitulah ilmu fiqihnya. Kata Ust. Hasyim. Tetapi karena ada hubungan sosiologis lah maka (anak) sampai kuliah pun kebanyakan masih dibiayai oleh orang tua. Padahal jika sudah baligh, sudah bisa menentukan hidupnya sendiri.

Kalau boleh memilih, saya lebih sepakat dengan sahabat yang pertama. Meski terlihat berat dan penuh tantangan tetapi inilah rahasia Allah. Seberapa besar dan seberapa kuat kita menyandarkan diri kepada Allah. Saya yakin, orang yang menikah muda apalagi modal nekad biasanya sandaranya adalah Allah, dan biasanya hidupnya sukses. “Tenang, kita punya Allah, semuanya kita serahkan padaNya..” mereka dengan mantap dan penuh keyakinan mengatakannya.

Di sinilah tantangan yang sesungguhnya. Belum lagi pihak dari orang tua yang merasa ragu, bahkan menolak untuk menyerahkan anak perempuannya kepada lelaki yang bermodalkan nekad karena Allah. Lagi-lagi di sinilah kendala pertamanya. Kendala yang kedua, tak sedikit kaum hawa juga yang mau diajak demikian, karena masih ragu dengan nasib masa depannya. "Bagaimana masa depan saya nanti..? kebanyakan perempuan mencari lelaki yang sudah mapan.

Padahal, kemapanan belum tentu identik dengan kebahagiaan. Rasanya terlalu rendah bila kita mengukur kebahagiaan itu dengan sebuah materi. Saya paling tidak sepakat dengan hal ini. Harta itu penting tetapi bukan yang utama. Karena pada dasarnya yang dibawa mati hanyalah amal.

Saya tidak memilih menikah muda, karena sebagai seorang anak yang baik, tugas saya adalah membahagiakan orang tua dulu. Saya lebih memilih orang tua, karena merekalah yang selalu ada buat saya, terutama Ibu. Urusan jodoh, pernikahan, semuanya saya serahkan kepada Allah swt saja. Terpenting jadi anak sholeh dulu. Semoga bermanfaat []

Ditemani hembusan angin malam
yang sunyi sepi..


--------------------

2 komentar:

  1. pengen sihhh tapi masih galau juga aku

    BalasHapus
  2. Mantapkan diri dan niat juga mas.. Pasti semuanya terbuka jalannya. Jangan takut, pasti Allah akan bukakan jalannya....

    BalasHapus

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme