Suatu sore, Herman sedang berselancar di dunia maya. Tiba-tiba HP (hand phone) nya bergetar, menandakan ada sebuah pesan untuknya. Ternyata Rudi, yang mengirimkan SMS (Short Message Sending) tersebut. Intinya, SMS itu adalah meminta tolong kepada Herman untuk menyadarkan salah satu teman mereka yang sedang putus asa. Awalnya Herman merasa tidak yakin dapat membantu, ia sadar betul bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai dalam banyak hal. Herman menyadari bahwa dirinya hanyalah orang biasa, seperti teman Rudi yang lainnya. Ketika sekolah dulu, tidak pernah masuk ke rangking sepuluh besar.
Akhirnya, dengan bermodalkan niat tulus dan ikhlas Herman pun mencoba sebisa mungkin untuk memenuhi permintaan dari temannya itu. Rudi sangat senang dengan sikap Herman. Rudi tahu bahwa Herman pasti akan selalu membantunya, apalagi ketika dimintai bantuan oleh teman akrabnya sendiri. Itulah kelebihan Herman, sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh teman-teman yang lain. Begitulah sosok Herman di mata sang teman.
Dara, begitulah ia disapa oleh teman-teman seusianya. Gadis yang memiliki nama lengkap Dara Khoirunnisa, begitu ceria dan aktif di kegiatan kampus. Namun karena ia sakit-sakitan dan sakitnya tak kunjung sembuh ia menjadi putus asa. Ia sering mengeluh, bahkan ia sempat mengatakan ingin mengakhiri hidupnya. Alasannya, karena Dara sudah capek, sudah tidak kuat harus seperti ini terus-terusan dengan penyakit yang dideritanya.
Herman sebisa mungkin menyadarkan Dara. Herman merasa bingung dengan peristiwa yang dialami Dara. Ia tidak belajar ilmu seperti ini ketika kuliah. Di kampus tempat ia belajar tak ada rumus atau jurus seperti ini yang diajarkan oleh dosennya. Namun, Herman teringat pesan Ustadz Rahmat ketika mengikuti pengajian mingguan, di mesjid Al-Falah. Begitu detail Ustadz Rahmat menjelaskannya, bahasanya juga sangat lembut dan lugas. Herman ingat betul Ustadz Rahmat sedang membahas QS. Al-Baqarah [02] : 286
Artinya : Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Dengan pengetahuan yang dimilikinya, Herman berusaha dengan maksimal untuk meyakinkan Dara. Awalnya ia merasa tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Tetapi atas izin Allâh swt Alhamdulilâh ternyata Dara mau menerima nasihat darinya. Dara berjanji akan berubah dan mau menerimanya dengan ikhlas dan sabar, Dara juga yakin bahwa apa yang ia jalani merupakan takdir Allâh yang sudah tertulis di lauhilmahfudz, seperti yang dinasihatkan Herman kepadanya.
Menanamkan Keyakinan
Setiap masalah yang dialami oleh manusia tentu berbeda. Walau pun tinggal dalam satu atap rumah dan satu ari-ari ketika dalam kandungan, tentu masalah yang dihadapi tak ada yang sama. Masalah itu datang silih berganti, jika masalah yang satu selesai maka masalah yang satunya lagi datang. Ini semua adalah rangkaian kehidupan, kehidupan orang yang normal tentunya. Hanya orang tidak normal (gila) yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya.
Jika berada diposisi Dara? Apa yang akan dilakukan ketika mengalami hal demikian? akankah bisa bersabar? bisa saja tindakan yang lebih “nekat” akan dilakukan, bahkan melebihi yang dilakukan Dara, dan hal itu dilakukan di luar kesadaran. Tidak sedikit orang yang prustasi kemudian memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Untuk itu, sebagai seorang muslim yang harus diakukan agar membentengi diri supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka solusinya adalah dengan memperkuat keyakinan (keimanan) kepada Allâh swt.
Dalam kondisi tertekan, kehilangan arah (bimbang), atau pun merasa terasingkan tentu hanya Allâhlah yang terasa begitu dekat, hanya Allâh juga yang dapat dimintai pertolongan. Berserah diri kepada Allâh bila semua usaha telah dilakukan dengan maksimal, merupakan keharusan, karena Allâhlah yang menentukan hasilnya. Berpasrah diri, ungkapan itulah yang sering diucapkan ketika melakukan sholat. Sadarkah dengan apa yang diucapakan tersebut? “…inna shalatî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillahirabbil’âlamîn”
Bagi yang memiliki keyakinan tinggi terhadap sang khâliq tentu masalah sebesar apapun tak akan menjadikan beban baginya. Ada sebuah penghargaan yang telah dipersiapakan ketika rintangan itu mampu dilewati. Mereka sadar betul bahwa untuk meperoleh mutiara dibutuhkan perjalanan panjang, menyelam jauh ke dasar samudera. Mereka tak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tantangan selalu menghadang dirinya.
Allâh SWT berfirman : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali’Imran [03] : 139)
Mensikapi Dengan Sabar
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika Rasûlullâh saw. berjumpa dengan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sebuah kuburan. Nabi saw. menegur wanita tesebut, “bertaqwalah kepada Allâh dan bersabarlah.” Wanita yang kebetulan belum mengenal Nabi menjawab, “Pergilah! Jangan engkau campuri urusanku. Engkau tidak tahu kepedihan yang menimpaku.”
Setelah diberi tahu bahwa yang menegurnya adalah Nabi saw, wanita itu merasa menyesal dan segera menemui beliau untuk meminta maaf. Kemudain, Nabi saw. bersabda, “hakikat kesabaran dinilai pada saat pertama datangnya musibah.” Adapun yang dimaksudkan oleh Nabi sabar itu tidak harus menunggu setelah musibah itu berlalu.
Bersabar berkaitan pula dengan masa depan, sebagaimana firman-Nya : “Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. (QS. Al-Mu’min [40] : 55)
Sabar itu memberikan nuansa “waktu dan masa depan.” Sehingga, sabar merupakan fungsi jiwa yang berkaitan sebanding dengan harapan waktu dan peroses berikhtiar untuk nyata. Sabar yang berarti merupkan harapan (tujuan, perjalanan dalam menggapai ridha Allâh), hanya dapat terwujud apabila mampu “bertoleransi dengan waktu.” Bila menanam benih padi, tentu saja tidak otomatis padi tersebut yang tumbuh. Untuk itu harus dipelihara, dipupuk, dan dibersihkan dari segala rerumputan dan hama yang mengancam. Menanam benih, memelihara, lalu memetik dan mejualnya merupakan rangkaian usaha dalam bersabar.
Kesabaran petani tampak dari sikapnya. Menunggu (faktor waktu) terus bergiat, memlihara, dan bersiaga menghadapi segala macam tantangan, hama, cuaca, dan penderitaan rasa cemas. Ketika banjir melanda tanamannya, itu tidak membuat surut, begitu pula ketika terkena hama, selalu saja ada upaya untuk memperbaikinya bahkan mencari alternatif-alternatif yang dilakukannya.
Sabar berarti memiliki ketabahan dan daya yang sangat kuat untuk menerima beban, ujian, atau tantangan tanpa sedikit pun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamnya. Rasûlullâh memuji orang mukmin yang bersabar , sabdanya : “Sungguh menakjubkan orang mukmin itu, jika ditimpa ujian dia bersabar” (HR. Bukhari)
Ikhtitâm
Sabar dapat disetarakan dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence), yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tekanan (stressor). Sehingga, orang orang yang bersabar tidak mengenal atau memiliki kosa kata “cengeng”. Karena makna dari sabar itu bagaikan batu karang yang tidak pernah bergeming walau ditimpa ombak samudera. Mereka tidak memiliki rasa gentar apalagi surut dari perjalanannya untuk menempuh jalan yang sudah mereka yakini. Firman Allâh swt : Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar...(QS. Al-Ahqâf [46] : 35)
Mereka yang sabar akan menerima ujian sebagai tantangan. Baginya hal tersebut adalah sesautu yang biasa atau memang demikianlah seharusnya. Dangan hati yang lapang dan antusias, ia merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah sebuah selingan dari sebuah perjalanan. Bukankah tidak selamanya jalan yang ditempuh itu mulus dan indah. Terkadang harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian. Itulah sebabnya, Allâh memeberikan kabar gembir bagi orang-orang yang tabah dalam perjalanannya.
Apapun yang dihadapi hendaknya disikapi dengan sabar. Bersabar itu tidak memiliki batas, ketika ada yang mengatakan “sabar itu ada batasnya,” berarti secara tidak langsung ia sudah tidak bersabar. Lebih tepatnya adalah “Shobrun ‘alâ shobrihî..” bersabar di atas kesabarannya.
Begitu dahsyat orang-orang yang sabar, Allâh berfirman (QS. Al-Anfâl [08] : 65) : “…. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu…..” Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang bersabar, dan senantiasa saling mengingatkan dalam kesabaran. Amîn. Wallâhu a’alamu bi asshowâbi.[]
Amir Hamzah
Div. Pendidikan - Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM)
PONPES UII - Yogyakarta
Akhirnya, dengan bermodalkan niat tulus dan ikhlas Herman pun mencoba sebisa mungkin untuk memenuhi permintaan dari temannya itu. Rudi sangat senang dengan sikap Herman. Rudi tahu bahwa Herman pasti akan selalu membantunya, apalagi ketika dimintai bantuan oleh teman akrabnya sendiri. Itulah kelebihan Herman, sebuah kelebihan yang tidak dimiliki oleh teman-teman yang lain. Begitulah sosok Herman di mata sang teman.
Dara, begitulah ia disapa oleh teman-teman seusianya. Gadis yang memiliki nama lengkap Dara Khoirunnisa, begitu ceria dan aktif di kegiatan kampus. Namun karena ia sakit-sakitan dan sakitnya tak kunjung sembuh ia menjadi putus asa. Ia sering mengeluh, bahkan ia sempat mengatakan ingin mengakhiri hidupnya. Alasannya, karena Dara sudah capek, sudah tidak kuat harus seperti ini terus-terusan dengan penyakit yang dideritanya.
Herman sebisa mungkin menyadarkan Dara. Herman merasa bingung dengan peristiwa yang dialami Dara. Ia tidak belajar ilmu seperti ini ketika kuliah. Di kampus tempat ia belajar tak ada rumus atau jurus seperti ini yang diajarkan oleh dosennya. Namun, Herman teringat pesan Ustadz Rahmat ketika mengikuti pengajian mingguan, di mesjid Al-Falah. Begitu detail Ustadz Rahmat menjelaskannya, bahasanya juga sangat lembut dan lugas. Herman ingat betul Ustadz Rahmat sedang membahas QS. Al-Baqarah [02] : 286
Artinya : Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Dengan pengetahuan yang dimilikinya, Herman berusaha dengan maksimal untuk meyakinkan Dara. Awalnya ia merasa tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Tetapi atas izin Allâh swt Alhamdulilâh ternyata Dara mau menerima nasihat darinya. Dara berjanji akan berubah dan mau menerimanya dengan ikhlas dan sabar, Dara juga yakin bahwa apa yang ia jalani merupakan takdir Allâh yang sudah tertulis di lauhilmahfudz, seperti yang dinasihatkan Herman kepadanya.
Menanamkan Keyakinan
Setiap masalah yang dialami oleh manusia tentu berbeda. Walau pun tinggal dalam satu atap rumah dan satu ari-ari ketika dalam kandungan, tentu masalah yang dihadapi tak ada yang sama. Masalah itu datang silih berganti, jika masalah yang satu selesai maka masalah yang satunya lagi datang. Ini semua adalah rangkaian kehidupan, kehidupan orang yang normal tentunya. Hanya orang tidak normal (gila) yang tidak memiliki masalah dalam hidupnya.
Jika berada diposisi Dara? Apa yang akan dilakukan ketika mengalami hal demikian? akankah bisa bersabar? bisa saja tindakan yang lebih “nekat” akan dilakukan, bahkan melebihi yang dilakukan Dara, dan hal itu dilakukan di luar kesadaran. Tidak sedikit orang yang prustasi kemudian memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Untuk itu, sebagai seorang muslim yang harus diakukan agar membentengi diri supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka solusinya adalah dengan memperkuat keyakinan (keimanan) kepada Allâh swt.
Dalam kondisi tertekan, kehilangan arah (bimbang), atau pun merasa terasingkan tentu hanya Allâhlah yang terasa begitu dekat, hanya Allâh juga yang dapat dimintai pertolongan. Berserah diri kepada Allâh bila semua usaha telah dilakukan dengan maksimal, merupakan keharusan, karena Allâhlah yang menentukan hasilnya. Berpasrah diri, ungkapan itulah yang sering diucapkan ketika melakukan sholat. Sadarkah dengan apa yang diucapakan tersebut? “…inna shalatî wa nusukî wa mahyâya wa mamâtî lillahirabbil’âlamîn”
Bagi yang memiliki keyakinan tinggi terhadap sang khâliq tentu masalah sebesar apapun tak akan menjadikan beban baginya. Ada sebuah penghargaan yang telah dipersiapakan ketika rintangan itu mampu dilewati. Mereka sadar betul bahwa untuk meperoleh mutiara dibutuhkan perjalanan panjang, menyelam jauh ke dasar samudera. Mereka tak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tantangan selalu menghadang dirinya.
Allâh SWT berfirman : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (QS. Ali’Imran [03] : 139)
Mensikapi Dengan Sabar
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik bahwa suatu ketika Rasûlullâh saw. berjumpa dengan seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sebuah kuburan. Nabi saw. menegur wanita tesebut, “bertaqwalah kepada Allâh dan bersabarlah.” Wanita yang kebetulan belum mengenal Nabi menjawab, “Pergilah! Jangan engkau campuri urusanku. Engkau tidak tahu kepedihan yang menimpaku.”
Setelah diberi tahu bahwa yang menegurnya adalah Nabi saw, wanita itu merasa menyesal dan segera menemui beliau untuk meminta maaf. Kemudain, Nabi saw. bersabda, “hakikat kesabaran dinilai pada saat pertama datangnya musibah.” Adapun yang dimaksudkan oleh Nabi sabar itu tidak harus menunggu setelah musibah itu berlalu.
Bersabar berkaitan pula dengan masa depan, sebagaimana firman-Nya : “Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allâh itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi”. (QS. Al-Mu’min [40] : 55)
Sabar itu memberikan nuansa “waktu dan masa depan.” Sehingga, sabar merupakan fungsi jiwa yang berkaitan sebanding dengan harapan waktu dan peroses berikhtiar untuk nyata. Sabar yang berarti merupkan harapan (tujuan, perjalanan dalam menggapai ridha Allâh), hanya dapat terwujud apabila mampu “bertoleransi dengan waktu.” Bila menanam benih padi, tentu saja tidak otomatis padi tersebut yang tumbuh. Untuk itu harus dipelihara, dipupuk, dan dibersihkan dari segala rerumputan dan hama yang mengancam. Menanam benih, memelihara, lalu memetik dan mejualnya merupakan rangkaian usaha dalam bersabar.
Kesabaran petani tampak dari sikapnya. Menunggu (faktor waktu) terus bergiat, memlihara, dan bersiaga menghadapi segala macam tantangan, hama, cuaca, dan penderitaan rasa cemas. Ketika banjir melanda tanamannya, itu tidak membuat surut, begitu pula ketika terkena hama, selalu saja ada upaya untuk memperbaikinya bahkan mencari alternatif-alternatif yang dilakukannya.
Sabar berarti memiliki ketabahan dan daya yang sangat kuat untuk menerima beban, ujian, atau tantangan tanpa sedikit pun mengubah harapan untuk menuai hasil yang ditanamnya. Rasûlullâh memuji orang mukmin yang bersabar , sabdanya : “Sungguh menakjubkan orang mukmin itu, jika ditimpa ujian dia bersabar” (HR. Bukhari)
Ikhtitâm
Sabar dapat disetarakan dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence), yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri dalam menghadapi berbagai tekanan (stressor). Sehingga, orang orang yang bersabar tidak mengenal atau memiliki kosa kata “cengeng”. Karena makna dari sabar itu bagaikan batu karang yang tidak pernah bergeming walau ditimpa ombak samudera. Mereka tidak memiliki rasa gentar apalagi surut dari perjalanannya untuk menempuh jalan yang sudah mereka yakini. Firman Allâh swt : Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar...(QS. Al-Ahqâf [46] : 35)
Mereka yang sabar akan menerima ujian sebagai tantangan. Baginya hal tersebut adalah sesautu yang biasa atau memang demikianlah seharusnya. Dangan hati yang lapang dan antusias, ia merasakan penderitaan dengan senyuman. Kepedihan hanyalah sebuah selingan dari sebuah perjalanan. Bukankah tidak selamanya jalan yang ditempuh itu mulus dan indah. Terkadang harus mendaki dan penuh tantangan atau ujian. Itulah sebabnya, Allâh memeberikan kabar gembir bagi orang-orang yang tabah dalam perjalanannya.
Apapun yang dihadapi hendaknya disikapi dengan sabar. Bersabar itu tidak memiliki batas, ketika ada yang mengatakan “sabar itu ada batasnya,” berarti secara tidak langsung ia sudah tidak bersabar. Lebih tepatnya adalah “Shobrun ‘alâ shobrihî..” bersabar di atas kesabarannya.
Begitu dahsyat orang-orang yang sabar, Allâh berfirman (QS. Al-Anfâl [08] : 65) : “…. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu…..” Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang bersabar, dan senantiasa saling mengingatkan dalam kesabaran. Amîn. Wallâhu a’alamu bi asshowâbi.[]
Amir Hamzah
Div. Pendidikan - Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM)
PONPES UII - Yogyakarta