Seorang gangster Amerika bernama Alphonso Gabriel Capone atau dikenal dengan sebutan Al Capone   (1899 -1947) melakukan praktek premanisme. Pembunuhan dan perlakuan sadis antar gank  dihalalkan untuk merebut kekuasan di daerahnya.

Al-capone   melakukan penyuapan terhadap wali kota Chicago William “Big Bill” Hale Thom­pson dengan tujuan agar mereka  dapat mengendalikan Chicago Amerika serikat dan memperluas usaha yang notabene bersifat haram.

Dengan praktek ini  menjadikan Operasional gang­ster Al Capone yang illegal ter­bebas dari sentuhan hu­kum, aparat hukum dari polisi, jaksa dan hakim menjadi alat mem­per­lancar  bisnis-nya. Dengan gaya ini Al-capone mampu men­ciptakan pendapatan hingga US $ 100 juta per tahun.

Adalah Eliot Ness seorang penyidik yang gigih yang mampu memasukan Al Capone kedalam penjara atas segala sepak ter­jangnya yang dikelilingi oleh gu­rita penguasa, politikus dan  penegak hukum. Al Capone dipenjara namun masih bisa mendapatkan fasilitas  dan hak-hak istimewa didalam pen­jara, namun hidupnya tetap berakhir di Penjara.

Dengan maraknya persoalan yang menggeliat dinegeri ini baik kekerasan maupun korupsi, mengingatkan kita pada cerita al-capone, maka wajarlah, jika kita khawatir negeri ini menjadi negeri Al-capone.

Al-Capone
Kekerasan dan tangan kekua­saan adalah alat untuk mencapai tujuan Al-capone dalam men­capai tujuannya, berbagai per­soalan seputar kekerasan yang bertujuan untuk melancarkan ke­pentingan pihak-pihak ter­tentu saat ini marak di negeri kita. Persoalan lahan pengusaha yang bersitegang dengan kepen­tingan (masyarakat) umum di Mesuji, Lampung dan Sumatra selatan menghadapkan penegak (aparat) hukum (polisi) yang mebela kepentingan swasta dan mengorbankan banyak nyawa dari masyarakat, yang justru sebenarnya harus mereka lindungi. Kekerasan juga dila­kukan oleh aparat penegak hu­kum manakala masyarakat Bima Nusa tenggara barat mem­pe­r­soalkan ijin tambang pihak swasta didaerah pemukiman masyarakat (umum).

Model-model tameng yang di­pertontonkan oleh “aparat” ter­hadap masyarakat untuk ke­pentingan pihak tertentu yang berduit, seperti di Mesuji dan Bima, adalah model yang terorganisir dan mudah menge­muka oleh media masa, sedang­kan model model yang induvi­dualistik perseorangan “oknum” aparat yang mengintimidasi perseorangan masyarakat umum lainnya  sebenarnya juga sering terjadi, hanya saja hal ini tidak pernah mengemuka apalagi di kancah media masa.

Praktek-praktek ini semakin kuat untuk terciptanya pola ekonomi yang bertendensi pada bentuk capitalis, yang menguat­kan mereka yang memiliki uang. Solusi damai dengan azaz musya­rawarah untuk mufakat, duduk bersama dalam menyele­saikan persoalan tanpa konflik tidak pernah lagi dilakukan. Aparat seharusmya berada pada pihak yang netral, eksistensinya mem­bawa rasa aman terhadap se­luruh lapisan masyarakat bu­kan rasa takut disatu pihak namun memunculkan perasaan “men­tang-mentang” dipihak lain.

William  “Big Bill”
Wiliam “Big Bill” pada zaman Al-capone adalah figur koruptor, Wiliam adalah  kaki tangan Al-capone di pemerintahan yang menerima suap dan memulus­kan segala usaha dan bisnis Al-capone. Maraknya pem­be­ritaan yang menggambarkan gurita korupsi di Indonesia terhadap lembaga penyeleng­garaan pemerintahan dan Negara mencerminkan bahwa di Indonesia tengah dijangkiti wabah William holic
Upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir ini  memang mengalami pening­katan, menurut transparency In­ternational,

Indek Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 mencapai angka 2,8 point atau  meningkat 0.8 point dibanding tahun 2004 yang hanya 2.0 point. Namun demikian range angka ini masih berada pada zone Negara terkorup, karena masih di bawah point 3.  Angka ini masih jauh dari angka prestasi beberapa Negara tetangga se­perti Singapure 3,.9, kemudian Ma­laysia 4, atau Korea selatan 5.4.

Prestasi yang dipublikasikan transaparancy dapat saja menunjukan kemajuan, namun arah yang mengkhawatirkan jus­tru terlihat dari regenerasi dan sebaran koruptor-nya. Pusat Pelaporan dan Analisis Tran­saksi  Keuangan (PPATK)  men­catat banyak PNS muda atau Gayus muda yang bertendensi melakukan korupsi.

Secara keseluruhan dicurigai ada 153 nasabah berasal dari kalangan PNS yang ditengarai melakukan korupsi, terdiri dari 67 berasal dari PNS daerah dan sisanya sebanyak 86 orang berasal dari kalangan PNS pusat. Sebagaian data yang direlease, nilai transaksi  korupsi juga cukup besar.  Sebanyak 42 nasabah transaksinya di bawah 1 miliar, namun nasabah yang melakukan transaksi di atas Rp 5 milar justru jumlahnya cukup banyak mencapai 60 nasabah.

Saat ini diperkirakan ada158 pejabat yang diduga terkait dengan korupsi, angka ini diluar 245 orang pejabat yang tengah ditangani oleh KPK. Mereka yang terlibat adalah pejabat daerah baik tingkat bupati, gubernur hingga pejabat pusat baik eselon tiga hingga eselon satu, bahkan mereka yang terlibat juga tidak sedikit dari kalangan penegak hukum seperti polisi, hakim mapun jaksa. Sehingga tidak aneh jika banyak pejabat-pejabat golo­ngan rendah memiliki nilai re­kening yang spektakuler se­perti Gayus. Bukan rahasia umum lagi jika banyak abdi negara atau pelayan masyarakat yang menjadi calo proyek.

Sebuah data dari Bribe payer Index (2011) yang disurvei oleh Transparency International menyebutkan, uang suap  yang diterima oleh aparat pemerintah dari meng “goal” kan proyek swasta berkontribusi 10 persen terhadap korupsi  atau bisa jadi pihak swasta akan mengurangi 10 persen dari kualitas proyek tersebut.  Dari sumber yang sa­ma, pemerintah Indonesia me­nempati urutan ke 25 dari 28 negara yang disurvey sebagai  negara yang pemerintahnya me­nempati urutan terbanyak menerima suap.

Dapat kita bayangkan jika dari Rp 100 triliun proyek yang dianggarkan harus diperoleh dengan   cara  menyuap pejabat sebesar  10 persen, setidaknya ha­nya Rp 90 triliun yang murni digunakan untuk pembangunan, besaran itu pun belum dipotong keuntungan yang memang dihalalkan untuk diperoleh pi­hak swasta. Artinya yang mur­ni menempel di proyek pem­bangunan tersebut hanya 80 per­sen saja dari nilai proyek, efeknya equivalent dengan 20 persen penurunan  proyek yang dianggarkan dari uang rakyat.

Eliot Ness
Gurita korupsi dilihat dari ang­ka yang disajikan di atas ternyata telah menyentuh pada inti persoalan yang sangat meng­khawatirkan. Banyak Al-capone- Al- capone (swasta) di Indonesia yang mengen­dalikan pengambil kebijakan, Banyak William-wiliam  “Big Bill” di Indonesia yang mem­bantu mulusnya usaha swasta di Indonesia. Korupsi di Indo­nesia  massif dan dilakukan ber­jamaah sehingga sulit untuk mencari ujung penyelesainnya, karena satu dengan yang lain aparat saling keterkaitan.

Begitu juga dengan maraknya kekerasan para aparat yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat yang merasa tidak aman dari ancaman kejahatan yang dilakukan oleh penjahat. Pemerkosaan, pembunuhan, perampokan dan jenis kejahatan lainnya yang semakin men­cemaskan masyarakat.

Kita berharap pemimpin kita bercermin dan menjadi tombak harapan masyarakat untuk tegaknya hukum di Indonesia yang lebih bisa melindungi dan mensejahterakan masyarakat, kita berharap akan ada Eliot Ness-eliot Ness Indonesia yang mampu menggiring Al-capone dan Wiliam bangsa ini ke ranah hukum yang adil.

Kalau hal ini bisa diwujudkan, ada sekitar Rp 50 triliun uang negara yang dapat diselamatkan, jika uang sebesar ini digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin, maka angka ini melebihi 50 persen dari anggaran APBN yang dialo­ka­sikan untuk pengentasan ke­miskinan yang hanya Rp 99 triliun, atau  akan begitu  besar masyarakat miskin yang dapat diangkat derajatnya.

Kita berharap Indonesia ada­lah negeri yang makmur dan penuh kedamaian bukan negeri Al-capone yang penuh dengan gangster tangan besi dan gang­ster anggaran negara. Semoga  penyelesaian kasus korupsi seperti kasus Bank Century dan beberapa kasus korupsi lainnya yang selama ini tidak berujung, akan kembali bangkit dan dikuak setelah  pergelaran si­dang Nasrudin dan  tertang­kapnya Nunun.

Kita juga berharap penyelesaian dan tindakan pengusutan hingga tuntas persoalan kekerasan di beberapa daerah yang meng­hilangkan banyak nyawa masya­rakat, dan mengantisipasi ter­ulangnya kejadian serupa. Semoga.

Oleh : Enjat Sudrajat
Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Mathlaul Anwar, Pandeglang

--------------------

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme