Pemutaran film Harry Potter 7 dan Transformers 3 pada awal Agustus  menandai dimulainya penayangan film-fim Hollywood di Indonesia. Sebelumnya, pemerintah melarang masuk  film Hollywood karena importirnya menunggak pajak impor Rp30 miliar.

Sejak pelarangan terhitung Februari 2011, baik pe­me­rintah dan insan film tidak melakukan langkah-lang­kah strategis untuk mengem­bangkan dan membangkitkan in­dustri film.  Tak ada gerakan, ide, atau gagasan brilian untuk me­ngisi kekosongan film.  Seba­liknya semua pihak pasif, sambil berharap pemerintah kembali mengijinkan film Hollywood ditayangkan kembali di tanah air.

Kondisi ini berbeda dengan India, Brasil, Korea Selatan, di mana ketiga negara itu men­jadikan industri film  tidak hanya sekadar komoditas ekspor, tapi juga sarana untuk mempro­mo­sikan budaya mereka ke mancanegara.

India mampu mengekspor film ke- 70 negara dengan nilai  $100 jutalebih. Pada tahun 1998, film Dil Se menjadi box office di Inggris dan Taal masuk jajaran top twenty. Kemudian, enam studio dari 30 studio multiplex di Birmingham, Inggris diperun­tukkan untuk film India. Pera­yaan film India yang diadakan di London disiarkan secara langsung ke lebih dari 120 negara.

Brasil mengekspor telenovela sebanyak 400 judul ke-130 ne­gara, di mana keberhasilan men­­jual telenovela ke Eropa mem­­buat  warga Brasil yang mela­kukan diaspora ke berbagai ne­gara, dapat menikmati tele­no­vela melalui jaringan televisi ka­bel internasional. Sehingga me­reka tetap ingat pada budaya dan tradisi leluhur, sekaligus me­numbuhkan rasa nasionalis­me.

Korea Selatan mengekspor  program drama seri sebanyak US$$71 juta (2004). Fenomena ini turut mempromosikan pariwisata Korea ke berbagai negara, dimana wisatawan akan mengunjungi lokasi syuting drama seri yang popular seperti Winter Sonata sebagai objek wisata. Diperkirakan 2 dari 3 wisatawan asing berkunjung ke Korea karena dipengaruhi drama seri TV Korea. Warga Jepang banyak yang belajar bahasa Korea, karena ingin memperlajari budaya Korea setelah menonton drama serinya.

Kemampuan mengekspor film, telenovela, dan drama televisi ke berbagai negara, termasuk AS dan Eropa menun­jukkan, tiga negara tersebut  tidak hanya mampu mempro­mosikan ideologi dan budaya mereka ke berbagai negara, tapi juga menunjukkan keber­hasilan negara berkembang melawan  hegemoni Hollywood.  (Media on The Move; Global Flow & Contra Flow, Daya Kishan Thussu, 2006).

Mengapa  Melawan Hollywood
Bagi India, Brasil, dan Korea, film tidak hanya sebuah produk sinematografi yang menghibur. Tapi film sebagai produk bahasa (ucapan dan teks) merupakan sa­lah satu ruang tempat konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, proses hegemoni dan hegemoni tandingan terjadi. Film sebagai produk media, adalah lahan di mana berbagai ideologi direpresentasikan.

Maka film pun menjelma menjadi budaya popular dan produk massif. Film dijadikan  komoditas ekonomi yang meng­hasilkan keuntungan melimpah, tanpa perlu memperhatikan dampak dari produk yang dihasilkan.  Karena itu, film-film Hollywood  terus mengkam­panyekan  ideologi mereka (kapi­talisme, hedonisme, kon­sumtif, sex bebas) serta  su­pe­rioritas budaya barat  terhadap budaya negara berkembang.

Hollywood juga mempro­mosikan  westernisasi, ketim­bang modernisasi--sebuah gaya hidup yang berhasil diterapkan di negara maju—untuk didupli­kasikan di negara berkembang termasuk Indonesia. Gaya hidup yang ditawarkan Hollwood,  tidak hanya mengubah tatanan hidup  yang sudah semula tra­disional menjadi modern, tapi juga  menguntungkan secara finansial bagi negara barat.

Awalnya modernisasi hanya menyentuh aspek ekonomi dan politik. Namun perkembangan berikutnya, modernisasi masuk ke wilayah budaya dan keaga­maan. Sehingga terjadi peru­bahan sistem sosial, dimana bukan akulturasi budaya yang terjadi, tapi justru proses sintesis yakni bercampurnya dua kebu­dayaan di mana budaya setem­pat hilang digantikan oleh budaya dominan.

Dalam hal ini budaya negara berkembang hilang digantikan oleh budaya barat. Proses modernisasi telah berubah menjadi westernisasi. Pada titik ini, Hollywood ber­hasil menjadikan negara ber­kembang, termasuk Indonesia untuk berkiblat kepada ideologi barat.

Indonesia sepertinya tak pe­duli, terhadap dominasi hege­moni Hollywood, yang ideo­loginya bertentangan dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Takluknya Indonesia dari hegemoni barat, mencerminkan pemerintah belum melihat film sebagai alat resistensi terhadap kekuasaan ideologi yang dominan. Pemerintah tidak melihat bahwa film-film Holly­wood merupakan alat mem­ba­ngun kultur dan ideologi barat  terhadap negara ber_kembang.

Potensi Indonesia
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikan industri seni  sebagai media untuk meng­hambat dan melawan hegemoni barat, sekaligus sumber pen­dapatan devisa negara. Pertama, Indonesia memiliki benchmar­king di pasar global yaitu lagu Anggun C Sasmi dijadikan soundtrack film Hollywood Transporter dan  Bali dijadikan lokasi shooting Eat and Pray yang dibintangi Julia Robert.

Kedua, Indonesia memiliki banyak seni pertunjukan  yang sudah mendunia seperti tari Kecak, Sendratari Ramayana, theater Lagaligo.  Seni pertun­jukkan memiliki potensi untuk dikembangkan. Seni pertun­jukkan memiliki pasar yang potensial di Eropa dan Amerika.

Pertunjukan theater di benua tersebut selalu menarik pe­nonton yang ditandai adanya gedung-gedung pertunjukkan yang representative seperti di Amerika Serikat (Broadway) , Jepang (Budokan), Australia (Sydney Opera Theater).

Ge­dung-gedung theater yang ada di berbagai negara tersebut, dapat dijadikan tempat bagi produk seni pertunjukaan In­do­nesia. Selanjutnya, seni pertunjukkan bisa direkam dan dijual secara komersial dengan menggunakan musik dan ba­hasa daerah, tapi sudah diter­jemahkan dalam berbagai ba­hasa asing.

Untuk menarik mi­nat penonton di berbagai negara, seni pertunjukan dapat dijadikan platform untuk me­ng­isahkan cerita-cerita yang populer di berbagai negara ter­sebut. Misalnya pertunjukkan wayang orang, reog, atau wayang golek yang akan tampil di Inggris mengambil kisah Robinhood atau Romeo and Juliet. Atau untuk wayang orang, lenong, menggunakan aktor/artis setempat.

Ketiga, Indonesia bisa mem­buat komik dan video games de­ngan cerita  budaya Indonesia seperti Majahapahit, Sriwijaya, serta Padjadjaran. Video games dan komik dibuat dalam versi digital dan berbahasa Inggris. Video games dan komik ditu­jukan untuk remaja, dan anak-anak di seluruh dunia.

Pemasa­rannya dengan website dan online, sehingga bisa memasuki pasar global. Unsur yang diton­jolkan adalah pertarungan, olahraga, percintaan, atau horor. Cerita yang dibangun tidak melulu ber-setting masa ke­rajaan Majapahit, tapi bisa juga jagoannya yang hidup pada masa majapahit menerobos “lorong waktu” ke kehidupan masa kini. Atau berkelana ke Eropa, Asia, Amerika, dan Aus­tralia menemui jagoan setempat untuk memberantas kejahatan.

Indonesia dapat melawan hegemoni Hollywood selama pemerintah memiliki political will untuk menjadikan industri seni  sebagai bagian yang stra­tegis dalam mempertahankan dan membangun nilai-nilai ke-Indonesiaan. Indonesia dapat melawan hegenomi Holly­wood seperti yang telah dila­kukan India, Brasil, dan Korea.

Karena film, mengutip Alex Sabur (2004:30) bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk mem­bangun kultur dan ideologi tandingan. Sekaligus men­ja­dikan industri seni sebagai penyedia lapangan kerja dan salah satu komoditas ekspor non-migas.

Oleh : Media Sucahya
Dosen Komunikasi Universitas Serang Raya &  Sekolah Tinggi Komunikasi Wangsa Jaya Banten - sumber koran radar banten  


--------------------

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme