Di samping bencana banjir, ternyata masih banyak bencana lainnya yang tidak henti-hentinya menerjang negeri ini. Maka, bencana pun telah bagaikan simfoni prahara tanpa henti yang kemudian menggugat tanya, mengapa semua itu dapat terjadi? Apa salaha dan dosa negeri ini? Bersamaan dengan itu, banyak teori juga telah dideretkan untuk menjawabi pertanyaan tersebut. Dan manusia pun tidak henti-hentinya mereka-reka kesalahan yang dapat dijadikan penyebabnya, termasuk saling mengkambing-hitamkan orang lain alias menuding obyek yang menjadi sumber bencana ekologi.
Dan apa pun faktornya, yang jelas, fenomena tragis seperti bencana banjir, itu salah satunya pertanda bahwa alam dengan seluruh ekosistem di dalamnya tidak lagi ramah menyapa dan bersahabat dengan manusia karena manusia telah menodai keharmonisan alam dan mengancam kematian prematur kehidupan semesta. Lihat saja lingkungan dieksploitasi dan hutan digunduli tanpa batas serta bumi dirusak. Sehingga, bencana banjir atau bencana ekologi itu pun berubah menjadi monster kerusakan alam yang terus memburu manusia.
Otonomi dan kebebasan manusia
Sebagaimana dalam teologi dan ajaran-ajaran agama Ibrahimik, semenjak awal, manusia telah diserahi otoritas otonomi oleh Sang Pencipta untuk memelihara dan merawat alam semesta ini. Kata teolog C.S.Lewis, manusia perlu menyadari bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang otonom dan berkehendak bebas dan diberikan pula kemampuan untuk mendirikan takdirnya sendiri. Itu semua dilandasi oleh pemaparan manusia sebagai imago Dei atau citra Allah sendiri sebagai pencipta di mana manusia adalah penerus karya ciptaan Sang Pencipta.
Hal itu dipertegas oleh teolog James Baar yang menunjuk pula otonomi manusia dalam menggunakan kekuasaannya terhadap alam dan lingkungan ini dengan melandaskan pada pemerintahan yang baik seperti Raja Salomo (Nabi Sulaiman) memerintah kerajaannya. Baar menegaskan bahwa kuasa dalam kitab suci, bermakna penjagaan yang analog dengan pemerintahan penguasa yang melindungi, menjaga, memelihara dan merawat alam seperti Raja Salomo itu hendaknya menjadi teladan bagi setiap umat manusia di muka bumi dalam meneruskan karya Sang Pencipta, yaitu melestarikan kehidupan alam semesta dan seluruh ekosistem di dalamnya.
Tetapi, tragisnya manusia telah mengabaikan hak otonomi yang dimilikinya dan menyalahgunakan kebebasannya. Tugas menjaga, memelihara dan merawat alam diubah menjadi menguasai, menakluk, bahkan merusak dan memperkosa hak-hak hidup alam semesta dan seluruh ekosistem itu. Bencana banjir adalah bukti yang paling telanjang pengkhianatan manusia dalam memanfaatkan kuasa otonom yang diberikan oleh Sang Pencipta itu. Maka, kekhawatiran akan datangnya bencana alam seperti bencana banjir dan bencana-bencana lainnya pun terus menghantui kita.
Memang, kekhawatiran ini pun sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh para pencinta lingkungan hidup (environmentalist) yang gerah melihat perilaku serakah manusia. Sang pemerhati lingkungan hidup Rachel Carson (1962) misalnya, dalam bukunya Silent Spring, meramalkan ancaman pencemaran dan bahaya nuklir bagi keselamatan penghuni planet bumi. Diramalkan, akan terjadinya musim semi yang sunyi, tapa kicau burung, tanpa aneka bunga warna-warni, tanpa buah-buahan, tanpa tumbuh tunas-tunas baru, tidak ada lagi hewan beranak pinak dan burung-burung meneruskan keturunannya.
Sebuah lukisan tentang tragedi alam dan bumi yang sangat mengerikan. Tragedi yang akan membunuh dan menghancurkan anak cucu kita. Dan jika alam terus dirusak, lingkungan hidup dan hutan tak henti-hentinya dihancurkan, dan manusia tak pernah menahan diri untuk menguras segala energi dan isi perut bumi itu, bukan mustahil lukisan Rachel Carson sungguh menjadi kenyataan.
Lalu, apakah kita terus menutup mata terhadap semua kepincangan hidup manusia terhadap alam dan bumi? Atau, apakah bencana demi bencana itu masih juga belum bisa menyadarkan kita untuk berhenti melakukan semua keburukan itu? Inilah pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang harus dijawab.
Mengubah paradigma pembangunan
Naluri menguasai alam oleh manusia tidak lain merupakan pembenaran pandangan filsuf Frederick Nietzsche bahwa manusia memang memiliki naluri ingin berkuasa di seluruh arena kehidupan dengan dalih apa pun. Pengagungan terhadap pembangunan ekonomi ini memuncratkan kredo dominasi absolut manusia terhadap ciptaan lain memberi lisensi untuk eksploitasi alam. Alam sekadar dipandang sebagai obyek par excellence. Alam menjadi the suffering other baru karena terus diperas secara rakus oleh manusia atas nama pembangunan dan kemajuan sektor ekonomi.
Maka, menurut ekonom dan pemerhati lingkungan Douglas E. Booth, model dan paradigma pembangunan apa pun tidak bisa berorientasi pada kemajuan sektor ekonomi semata. Sebab dengan model dan paradigma tersebut kerusakan lingkungan merupakan keniscayaan gradual. Model dan paradigma pembangunan harus diorientasikan pada keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, kebutuhan fundamental manusia seperti pangan, akan selalu tercukupi, sementara kelestarian alam dan harmonisasi serta irama alam tetap terpelihara dalam siklusnya yang konsisten.
Pada aspek teoretis itulah kita pun dapat meyakini spirit penjagaan dan pemeliharaan dan perawatan terhadap alam harus diterapkan dalam pembangunan ekonomi dan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Itu semua dilakukan agar bencana banjir dan aneka bencana lainnya tidak lagi menakutkan, meski di tengah musim hujan seekstrim apa pun. Dan kita harus menghormati dan mendamaikan diri dengan semua fenomena bencana akibat ulah manusia itu, dengan terus mengubah pandangan hidup terhadap alam dan memperbaiki penerapan model dan paradigm pembangunan, serta mengubah perilaku kita terhadap alam dan bumi.
Karena itu, penerapkan model dan paradigma pembangunan yang dapat mencegah bencana alam telah menjadi urgensi tinggi. Adalah model dan paradigma pembangunan yang diarahkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Rakyat, dalam hal ini harus terus mengawal dan mengontrol jalannya pembangunan dengan sangat kritis agar keseimbangan peradaban bersama semesta hari ini dan esok dapat terbangun dalam keharmonisannya.
Oleh : Thomas Koten
Direktur Social Development Center, seorang pembelajar filsafat.
sumber : http://radarbanten.com/newversion/opini/6455-banjir-di-banten-.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.