Banjir kembali melanda se­jumlah wilayah di Provinsi Banten. Para korban banjir me­ngungsi dengan mendirikan tenda-tenda darurat. Sejumpah ruas jalan, terutama Jalan Tol Jakarta-Merak lumpuh total. Dan bukan hanya di Provinsi Banten, tetapi bencana banjir juga menyeruak dan melanda di banyak wilayah di Tanah Air. Ibukota Jakarta, misalnya juga telah menjadi langganan banjir tahunan. Sehingga, bencana banjir telah menjadi sebuah keniscayaan bagi negeri ini.

Di samping bencana banjir, ternyata masih banyak ben­cana lainnya yang tidak henti-hentinya menerjang ne­geri ini. Maka, bencana pun te­­lah ba­gai­kan simfoni prahara tanpa henti yang kemudian me­­ng­gugat tanya, mengapa semua itu dapat terjadi? Apa salaha dan dosa ne­geri ini? Ber­­samaan dengan itu, banyak teori juga telah di­de­retkan untuk menjawabi per­tan­yaan tersebut. Dan manusia pun tidak henti-hentinya mereka-reka kesalahan yang dapat di­ja­dikan pen­ye­babnya, termasuk saling meng­kam­bing-hitamkan orang lain alias menuding obyek yang menjadi sumber bencana eko­logi.

Dan apa pun faktornya, yang jelas, fenomena tragis seperti ben­cana banjir, itu salah satunya per­tanda bahwa alam dengan seluruh ekosistem di dalamnya tidak lagi ramah menyapa dan bersahabat dengan manusia karena manusia telah menodai keharmonisan alam dan me­ngan­cam kematian prematur ke­hidupan semesta. Lihat saja lingkungan dieksploitasi dan hutan digunduli tanpa batas serta bumi dirusak. Sehingga, bencana banjir atau bencana ekologi itu pun berubah menjadi monster kerusakan alam yang terus memburu manusia.

Otonomi dan kebebasan manusia
Sebagaimana dalam teologi dan ajaran-ajaran agama Ib­ra­himik, semenjak awal, ma­nusia telah diserahi otoritas oto­nomi oleh Sang Pencipta untuk me­me­lihara dan merawat alam se­mesta ini. Kata teolog C.S.Lewis, manusia perlu men­yadari bahwa Tuhan men­cip­ta­kan manusia sebagai makhluk yang otonom dan berkehendak bebas dan di­berikan pula ke­mam­puan un­tuk mendirikan takdirnya sendiri. Itu semua di­landasi oleh pe­ma­paran ma­nusia sebagai imago Dei atau citra Allah sendiri sebagai pen­cipta di mana manusia adalah pe­­­nerus karya ciptaan Sang Pen­cipta.

Hal itu dipertegas oleh teolog James Baar yang menunjuk pula otonomi manusia dalam me­ng­­­­gunakan kekuasaannya terhadap alam dan lingkungan ini dengan melandaskan pada pe­merintahan yang baik seperti Raja Salomo (Nabi Sulaiman) memerintah kerajaannya. Baar menegaskan bahwa kuasa dalam kitab suci, bermakna penjagaan yang analog dengan pe­me­rin­tahan penguasa yang me­lin­dungi, menjaga, memelihara dan merawat alam seperti Raja Sa­lomo itu hendaknya menjadi teladan bagi setiap umat ma­nu­sia di muka bumi dalam me­­­­­­neruskan karya Sang Pen­cip­ta, yaitu melestarikan ke­hi­dupan alam semesta dan se­lu­ruh ekosistem di dalamnya.

Tetapi, tragisnya manusia telah me­ngabaikan hak otonomi yang dimilikinya dan men­ya­lah­gu­na­kan kebebasannya. Tugas men­jaga, memelihara dan me­ra­wat alam diubah menjadi me­­nguasai, menakluk, bahkan me­rusak dan memperkosa hak-hak hidup alam semesta dan se­luruh ekosistem itu. Bencana banjir adalah bukti yang paling te­lanjang peng­khianatan ma­nu­sia dalam me­man­faatkan kuasa otonom yang diberikan oleh Sang Pencipta itu. Maka, ke­khawatiran akan da­tang­nya ben­cana alam seperti bencana banjir dan bencana-ben­cana lain­nya  pun terus meng­hantui kita.

Memang, kekhawatiran ini pun sebenarnya sudah lama di­­kemukakan oleh para pencinta lingkungan hidup (en­vi­ron­men­talist) yang gerah melihat pe­rilaku serakah manusia. Sang pe­merhati lingkungan hidup Rachel Carson (1962) misalnya, da­lam bukunya Silent Spring, meramalkan ancaman pen­ce­maran dan bahaya nuklir bagi ke­selamatan penghuni planet bumi. Diramalkan, akan ter­jadinya musim semi yang sunyi, tapa kicau burung, tanpa aneka bunga warna-warni, tanpa buah-buahan, tanpa tumbuh tunas-tunas baru, tidak ada la­­gi hewan beranak pinak dan burung-burung meneruskan keturunannya.

Sebuah lukisan tentang tragedi alam dan bumi yang sangat me­­ngerikan. Tragedi yang akan membunuh dan meng­han­cur­kan anak cucu kita. Dan jika alam terus dirusak, ling­kungan hi­dup dan hutan tak henti-hen­tinya dihancurkan, dan manusia tak pernah menahan diri untuk me­nguras segala energi dan isi perut bumi itu, bukan mus­ta­hil lukisan Rachel Carson sung­guh menjadi kenyataan.

Lalu, apakah kita terus me­nu­tup mata terhadap semua ke­pincangan hidup manusia ter­hadap alam dan bumi? Atau, apakah bencana demi bencana itu masih juga belum bisa men­ya­darkan kita untuk berhenti melakukan semua keburukan itu? Inilah pertanyaan-per­tan­ya­an eksistensial yang harus dijawab.

Mengubah paradigma pembangunan
Naluri menguasai alam oleh ma­nusia tidak lain merupakan pembenaran pandangan filsuf Frederick Nietzsche bahwa ma­nusia memang memiliki na­luri ingin berkuasa di seluruh arena kehidupan dengan dalih apa pun. Pengagungan terhadap pembangunan ekonomi ini me­­muncratkan kredo dominasi absolut manusia terhadap cip­taan lain memberi lisensi untuk eks­ploitasi alam. Alam sekadar dipandang sebagai obyek par ex­cellence. Alam menjadi the suffering other baru karena terus di­peras secara rakus oleh ma­nu­sia atas nama pem­bangu­nan dan kemajuan sektor ekonomi.

Maka, menurut ekonom dan pe­merhati lingkungan Douglas E. Booth, model dan paradigma pem­bangunan apa pun tidak bisa berorientasi pada kemajuan sek­tor ekonomi semata. Sebab dengan model dan paradigma ter­sebut kerusakan lingkungan me­rupakan keniscayaan gra­dual. Model dan paradigma pem­­bangunan harus di­orien­ta­sikan pada ke­se­im­bangan eko­sistem. Dengan demikian, ke­butuhan fundamental ma­nu­sia seperti pangan, akan se­lalu tercukupi, sementara ke­lestarian alam dan har­mo­ni­sasi serta irama alam tetap ter­­pelihara dalam siklusnya yang konsisten.

Pada aspek teoretis itulah kita pun dapat meyakini spirit pen­jagaan dan pemeliharaan dan perawatan terhadap alam harus di­terapkan dalam pembangunan ekonomi dan dalam kehidupan ma­nusia sehari-hari. Itu semua dilakukan agar bencana banjir dan aneka bencana lainnya ti­dak lagi menakutkan, meski  di tengah musim hujan se­ekstrim apa pun. Dan kita harus meng­­hormati dan men­da­mai­kan diri dengan semua fe­no­me­na bencana akibat ulah ma­­nusia itu, dengan terus me­ngu­bah pandangan hidup ter­ha­dap alam dan memperbaiki pe­nerapan model dan paradigm pem­bangunan, serta mengubah pe­rilaku kita terhadap alam dan bumi.

Karena itu, penerapkan model dan paradigma pembangunan yang dapat mencegah bencana alam telah menjadi urgensi tinggi. Adalah model dan pa­ra­­­digma pembangunan yang di­arahkan untuk menjaga ke­se­imbangan ekosistem. Rakyat, dalam hal ini harus terus me­nga­wal dan mengontrol jalannya pem­bangunan dengan sangat kritis agar keseimbangan pe­ra­­­­daban bersama semesta hari ini dan esok dapat terbangun dalam keharmonisannya.

Oleh : Thomas Koten
Direktur Social Development Center, seorang pembelajar filsafat.  
sumber : http://radarbanten.com/newversion/opini/6455-banjir-di-banten-.html

--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme