Seorang sufi, Abu Ishaq al-Syairazi, suatu hari, hadir di sebuah masjid
untuk turut serta menyantap hidangan, sebagai bagian dari tradisi yang
berkembang di masyarakat kala itu. Usai menyantap makanan, iapun undur
diri pulang ke rumah. Tanpa sadar, ia telah meninggalkan dinarnya di
masjid.
Di tengah perjalanan pulang, ia teringat dinarnya yang tidak lagi berada di kantongnya. Iapun memutar arah balik lagi ke masjid untuk mencarinya. Di masjid, ia melihat dinar yang tergeletak di atas lantai, tepat di bekas tempat duduknya. Ketika hendak memungutnya, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya dan bahkan tak menyentuhnya sedikitpun.
“Rubama waqa’a min ghairi wa la yakunu dinari, Boleh jadi, dinar itu jatuh bukan dari kantongku. Dan boleh jadi, itu bukan dinarku,” batinnya hati-hati sembari melangkah pulang meninggalkan dinar yang tergeletak itu. Ia takut, kalau-kalau ternyata ia memungut dinar yang bukan haknya.
Kisah yang diriwayatkan Imam Nawawi dalam Tahdzib al-Asma’ (I/173) dan dinukil kembali oleh Ahmad Farid dalam Tazkiyah al-Nufus (hal. 30), ini sungguh menggetarkan jiwa orang-orang beriman. Bagi lumrahnya orang seperti kita, apalagi dinar (barang) yang kita duga milik kita, yang nyata-nyata temuan atau bahkan jelas-jelas bukan milik kita saja, kita dengan tenang dan tiada perasaan berdosa berani mengambilnya.
Tak jarang keberanian ini dilakukan berkali-kali dan terus menyandu, hingga akhirnya menggumpal menjadi kebiasaan korupsi. Lantas mendarah daging dan mengurat nadi. Pun menjadi kangker yang sulit terobati.
Namun, nyatanya, itulah kehati-hatian seorang arif besar bernama Abu Ishak al-Syairazi, yang lebih mementingkan status makanan yang masuk ke dalam kerongkongannya, ketimbang memenangkan nafsu duniawinya yang sesaat. Bagi seorang arif, sebagaimana dijelaskan ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad (Risalah al-Mu’awanah, hal. 34), makanan diyakini akan menghadirkan kekuatan, kekuatan akan memunculkan gerak dan gerak akan melahirkan ibadah.
Jika yang disantap makanan haram (baik haram karena materinya maupun karena cara memperolehnya), maka kekuatan, gerak dan aneka rupa ibadah yang timbul darinya juga haram. Konsekuensinya, Allah SWT akan menolaknya mentah-mentah. Kondisi ibadah yang demikian ibarat membangun rumah di atas buih lautan, menurut Ibn Ruslan dalam al-Zubad-nya.
Bahkan saking hati-hatinya, seorang bijak bestari bernama al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) memiliki kisah yang lebih unik lagi. Tatkala tangannya memegang barang syubhat (tak jelas status halal atau haramnya), urat tangan dan jemarinya bergetar, berkeringat dan tak berfungsi. Makanan yang dipegangnya pun sontak jatuh ke tanah.
Bila memakan barang yang tak halal, tenggorokannya tak bisa menelannya, sehingga ia memuntahkannya (Tulus Tanpa Batas, hal. 8). Inilah proteksi yang dikaruniakan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang bijak bestari, yang teguh memegang ke-wara’-an.
Bagaimana Pemimpin Kita?
Di zaman modern yang serba permisif dan hedonis ini, perilaku wara’ – menghindari makanan yang haram dan syubhat (Syeikh Nawai Banten, al-Futuhat al-Madaniyyah fi al-Syu’ab al-Imaniyyah, hal. 15) – seperti yang ditunjukkan para bijak bestari itu, mungkin hanya dianggap dongeng pengantar tidur belaka; untuk menyeyakkan tidur anak-anak kecil. Atau, bahkan dinilai sebagai utopia belaka. Kenyataannya, kearifan seperti ini memang sudah demikian sulitnya ditemui di tengah kehidupan modern ini.
Jika Rasulullah SAW menyatakan “cinta dunia adalah pangkal kerusakan”, maka kita malah menggandrunginya, bukan menjauhinya. inilah yang nampak nyata kini, terutama di kalangan para pemimpin kita yang mulia.
Itu sebabnya, tak heran, pada zaman ini banyak yang bilang, apalagi yang halal, yang haram saja susah diraih. Alasan yang mengada-ada ini lantas menjadi dasar untuk berbuat semaunya; yang tak jarang merugikan banyak kalangan. Benar belaka kata Rasulullah SAW; akan datang suatu zaman, orang tidak lagi peduli dari mana mendapatkan rezekinya, baik dari jalan halal maupun haram. (HR Abu ‘Isa al-Tirmidzi). Hari kian hari, kehati-hatian dalam mencari rezeki kian pudar saja dari diri kita. Yang penting perut kenyang, apapun akan dilakukan. Persetan dengan aturan agama!
Tak heran pula, jika karenanya, Mahatma Gandhi menyatakan: “Bumi dan isinya cukup untuk memberi makan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, tapi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.” (Paku Bumi, dari Lebak untuk Ibu Pertiwi, hal. 143). Kerakusan inilah yang akan menggiring dunia ini pada kerusakan dan kebangkrutan akut dalam berbagai sendinya.
Jika satu orang rakus saja sudah cukup merusak seluruh isi alam raya, apa jadinya kalau di atas muka bumi ini terdapat ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang rakus? Tentu saja kehancuran dunia akan kian cepat terwujud. Potensi “tsunami kebangkrutan” ini yang semestinya ditanggulangi oleh semua pihak dengan penuh kearifan.
Namun ironis dan mirisnya, jujur saja, suka tidak suka, tidak sedikit pemimpin kita yang justru menjadi bagian dari kerusakan ini. Keteladanan yang sejatinya harus melekat dalam diri mereka, malah tak lagi menampak. Ke-wara’-an pun telah lama pudar, atau bahkan memang tidak ada sama sekali sedari awal dalam diri mereka. Orientasi duniawi pun menjadi target utama kepemimpinannya. Kepentingan rakyat diletakkan dalam urutan kesekian setelah hajat nafsunya terpenuhi.
Karenanya, lantas muncul berbagai tindak korupsi, semisal kasus Bank Century, Wisma Atlet, Wisma Hambalang, hura-hura renovasi ruang rapat miliaran rupiah, dan sangat banyak lagi. Pengorupsian dan penghamburan dana besar yang terjadi karena tidak adanya skala prioritas kebutuhan, dan lantaran adanya nafsu hedonis tanpa peduli pihak lain inilah tanda-tanda telah memudarnya ke-wara’-an itu.
Bisa dipastikan, jika ke-wara’-an memudar, kebangkrutan negeri ini benar-benar telah diambang pintu. Kekayaan alam akan habis dihisap kerakusan mereka. Itu baru yang terjadi di pemerintah pusat, belum lagi yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah di seluruh penjuru negeri tercinta ini.
Seharusnya, aliran darah, pikiran, dan hati pemimpin – siapapun dia – selalu bersuara: rakyat, rakyat, dan rakyat. Mereka tidak bisa tertidur pulas jika rakyatnya sengsara. Pun, tidak bisa bersenang-senang kala rakyatnya menderita. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya diukur dari dampak kesejahteraan yang timbul bagi rakyatnya. “Pemimpin adalah pelayan rakyat,” pesan Rasulullah SAW. Fungsi pemimpin adalah melayani rakyat, bukan dilayani apalagi membangkrutkan mereka dengan tindak korupsi dan kejahatannya.
Namun, apa yang kita saksikan selam ini?
Dikutip Syeikh Nawawi Banten dalam karyanya Kasyifah al-Saja (hal. 6), Ibnu Atoillah al-Sakandari, arif besar penulis Kitab al-Hikam, menyatakan: “Di antara tanda-tanda hati yang mati adalah tiadanya kesedihan tatkala melanggar ketaatan dan tiadanya penyesalan tatkala mengerjakan pelanggaran.”
Dengan uraian yang lebih luas, jika kehidupan para pemimpin kita saat ini tidak lagi beredar pada garis orbitnya untuk menyejahterakan rakyat, maka sejatinya mereka telah melakukan pelanggaran etika sebagai pemimpin. Jika pelanggaran ini tidak membuatnya bersalah atau menyesal, berarti hatinya telah beku dan bahkan mati. Hati yang mati, terang saja, tidak akan mampu membuat dunia ini terang benderang. Rakyatpun tidak akan beraih kemaslahatan apapun dari hati yang gelap gulita. Inilah kunci pokok kerusakan bangsa ini.
Pertanyaannya, masihkah tersisa ke-wara’-an di hati para pemimpin kita, sehingga mereka lebih memikirkan kesejahteraan rakyat ketimbang mengejar hajat duniawinya? Bukankah Rasulullah SAW menyatakan; “Sebaik-baik agama kalian adalah wara’” dan “tiada kebaikan bagi manusia, jika tiada wara’ dalam dirinya”?
Semoga, Allah SWT segera menghadirkan buat kita pemimpin yang acuh pada kepentingan duniawi sesaat dan sungguh peduli pada kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang lebih siap sengsara dan menderita, ketimbang lebih siap hidup senang dan bahagia. Pemimpin yang tidak bisa tidur lantaran memikirkan nasib dan masa depan rakyatnya. Wa Allah a’lam.
Nurul H. Maarif
Pengajar di Pondok Pesantren Qothrotul Falah, Cikulur, Lebak
Sumber : Kolom Opini Radar Banten
Di tengah perjalanan pulang, ia teringat dinarnya yang tidak lagi berada di kantongnya. Iapun memutar arah balik lagi ke masjid untuk mencarinya. Di masjid, ia melihat dinar yang tergeletak di atas lantai, tepat di bekas tempat duduknya. Ketika hendak memungutnya, tiba-tiba ia mengurungkan niatnya dan bahkan tak menyentuhnya sedikitpun.
“Rubama waqa’a min ghairi wa la yakunu dinari, Boleh jadi, dinar itu jatuh bukan dari kantongku. Dan boleh jadi, itu bukan dinarku,” batinnya hati-hati sembari melangkah pulang meninggalkan dinar yang tergeletak itu. Ia takut, kalau-kalau ternyata ia memungut dinar yang bukan haknya.
Kisah yang diriwayatkan Imam Nawawi dalam Tahdzib al-Asma’ (I/173) dan dinukil kembali oleh Ahmad Farid dalam Tazkiyah al-Nufus (hal. 30), ini sungguh menggetarkan jiwa orang-orang beriman. Bagi lumrahnya orang seperti kita, apalagi dinar (barang) yang kita duga milik kita, yang nyata-nyata temuan atau bahkan jelas-jelas bukan milik kita saja, kita dengan tenang dan tiada perasaan berdosa berani mengambilnya.
Tak jarang keberanian ini dilakukan berkali-kali dan terus menyandu, hingga akhirnya menggumpal menjadi kebiasaan korupsi. Lantas mendarah daging dan mengurat nadi. Pun menjadi kangker yang sulit terobati.
Namun, nyatanya, itulah kehati-hatian seorang arif besar bernama Abu Ishak al-Syairazi, yang lebih mementingkan status makanan yang masuk ke dalam kerongkongannya, ketimbang memenangkan nafsu duniawinya yang sesaat. Bagi seorang arif, sebagaimana dijelaskan ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad (Risalah al-Mu’awanah, hal. 34), makanan diyakini akan menghadirkan kekuatan, kekuatan akan memunculkan gerak dan gerak akan melahirkan ibadah.
Jika yang disantap makanan haram (baik haram karena materinya maupun karena cara memperolehnya), maka kekuatan, gerak dan aneka rupa ibadah yang timbul darinya juga haram. Konsekuensinya, Allah SWT akan menolaknya mentah-mentah. Kondisi ibadah yang demikian ibarat membangun rumah di atas buih lautan, menurut Ibn Ruslan dalam al-Zubad-nya.
Bahkan saking hati-hatinya, seorang bijak bestari bernama al-Harits al-Muhasibi (w. 243 H) memiliki kisah yang lebih unik lagi. Tatkala tangannya memegang barang syubhat (tak jelas status halal atau haramnya), urat tangan dan jemarinya bergetar, berkeringat dan tak berfungsi. Makanan yang dipegangnya pun sontak jatuh ke tanah.
Bila memakan barang yang tak halal, tenggorokannya tak bisa menelannya, sehingga ia memuntahkannya (Tulus Tanpa Batas, hal. 8). Inilah proteksi yang dikaruniakan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang bijak bestari, yang teguh memegang ke-wara’-an.
Bagaimana Pemimpin Kita?
Di zaman modern yang serba permisif dan hedonis ini, perilaku wara’ – menghindari makanan yang haram dan syubhat (Syeikh Nawai Banten, al-Futuhat al-Madaniyyah fi al-Syu’ab al-Imaniyyah, hal. 15) – seperti yang ditunjukkan para bijak bestari itu, mungkin hanya dianggap dongeng pengantar tidur belaka; untuk menyeyakkan tidur anak-anak kecil. Atau, bahkan dinilai sebagai utopia belaka. Kenyataannya, kearifan seperti ini memang sudah demikian sulitnya ditemui di tengah kehidupan modern ini.
Jika Rasulullah SAW menyatakan “cinta dunia adalah pangkal kerusakan”, maka kita malah menggandrunginya, bukan menjauhinya. inilah yang nampak nyata kini, terutama di kalangan para pemimpin kita yang mulia.
Itu sebabnya, tak heran, pada zaman ini banyak yang bilang, apalagi yang halal, yang haram saja susah diraih. Alasan yang mengada-ada ini lantas menjadi dasar untuk berbuat semaunya; yang tak jarang merugikan banyak kalangan. Benar belaka kata Rasulullah SAW; akan datang suatu zaman, orang tidak lagi peduli dari mana mendapatkan rezekinya, baik dari jalan halal maupun haram. (HR Abu ‘Isa al-Tirmidzi). Hari kian hari, kehati-hatian dalam mencari rezeki kian pudar saja dari diri kita. Yang penting perut kenyang, apapun akan dilakukan. Persetan dengan aturan agama!
Tak heran pula, jika karenanya, Mahatma Gandhi menyatakan: “Bumi dan isinya cukup untuk memberi makan seluruh makhluk yang hidup di dalamnya, tapi tidak cukup untuk memberi makan satu orang yang rakus.” (Paku Bumi, dari Lebak untuk Ibu Pertiwi, hal. 143). Kerakusan inilah yang akan menggiring dunia ini pada kerusakan dan kebangkrutan akut dalam berbagai sendinya.
Jika satu orang rakus saja sudah cukup merusak seluruh isi alam raya, apa jadinya kalau di atas muka bumi ini terdapat ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang rakus? Tentu saja kehancuran dunia akan kian cepat terwujud. Potensi “tsunami kebangkrutan” ini yang semestinya ditanggulangi oleh semua pihak dengan penuh kearifan.
Namun ironis dan mirisnya, jujur saja, suka tidak suka, tidak sedikit pemimpin kita yang justru menjadi bagian dari kerusakan ini. Keteladanan yang sejatinya harus melekat dalam diri mereka, malah tak lagi menampak. Ke-wara’-an pun telah lama pudar, atau bahkan memang tidak ada sama sekali sedari awal dalam diri mereka. Orientasi duniawi pun menjadi target utama kepemimpinannya. Kepentingan rakyat diletakkan dalam urutan kesekian setelah hajat nafsunya terpenuhi.
Karenanya, lantas muncul berbagai tindak korupsi, semisal kasus Bank Century, Wisma Atlet, Wisma Hambalang, hura-hura renovasi ruang rapat miliaran rupiah, dan sangat banyak lagi. Pengorupsian dan penghamburan dana besar yang terjadi karena tidak adanya skala prioritas kebutuhan, dan lantaran adanya nafsu hedonis tanpa peduli pihak lain inilah tanda-tanda telah memudarnya ke-wara’-an itu.
Bisa dipastikan, jika ke-wara’-an memudar, kebangkrutan negeri ini benar-benar telah diambang pintu. Kekayaan alam akan habis dihisap kerakusan mereka. Itu baru yang terjadi di pemerintah pusat, belum lagi yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah di seluruh penjuru negeri tercinta ini.
Seharusnya, aliran darah, pikiran, dan hati pemimpin – siapapun dia – selalu bersuara: rakyat, rakyat, dan rakyat. Mereka tidak bisa tertidur pulas jika rakyatnya sengsara. Pun, tidak bisa bersenang-senang kala rakyatnya menderita. Sebab, kepemimpinan sesungguhnya diukur dari dampak kesejahteraan yang timbul bagi rakyatnya. “Pemimpin adalah pelayan rakyat,” pesan Rasulullah SAW. Fungsi pemimpin adalah melayani rakyat, bukan dilayani apalagi membangkrutkan mereka dengan tindak korupsi dan kejahatannya.
Namun, apa yang kita saksikan selam ini?
Dikutip Syeikh Nawawi Banten dalam karyanya Kasyifah al-Saja (hal. 6), Ibnu Atoillah al-Sakandari, arif besar penulis Kitab al-Hikam, menyatakan: “Di antara tanda-tanda hati yang mati adalah tiadanya kesedihan tatkala melanggar ketaatan dan tiadanya penyesalan tatkala mengerjakan pelanggaran.”
Dengan uraian yang lebih luas, jika kehidupan para pemimpin kita saat ini tidak lagi beredar pada garis orbitnya untuk menyejahterakan rakyat, maka sejatinya mereka telah melakukan pelanggaran etika sebagai pemimpin. Jika pelanggaran ini tidak membuatnya bersalah atau menyesal, berarti hatinya telah beku dan bahkan mati. Hati yang mati, terang saja, tidak akan mampu membuat dunia ini terang benderang. Rakyatpun tidak akan beraih kemaslahatan apapun dari hati yang gelap gulita. Inilah kunci pokok kerusakan bangsa ini.
Pertanyaannya, masihkah tersisa ke-wara’-an di hati para pemimpin kita, sehingga mereka lebih memikirkan kesejahteraan rakyat ketimbang mengejar hajat duniawinya? Bukankah Rasulullah SAW menyatakan; “Sebaik-baik agama kalian adalah wara’” dan “tiada kebaikan bagi manusia, jika tiada wara’ dalam dirinya”?
Semoga, Allah SWT segera menghadirkan buat kita pemimpin yang acuh pada kepentingan duniawi sesaat dan sungguh peduli pada kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang lebih siap sengsara dan menderita, ketimbang lebih siap hidup senang dan bahagia. Pemimpin yang tidak bisa tidur lantaran memikirkan nasib dan masa depan rakyatnya. Wa Allah a’lam.
Nurul H. Maarif
Pengajar di Pondok Pesantren Qothrotul Falah, Cikulur, Lebak
Sumber : Kolom Opini Radar Banten