(Sabtu, 04/14/17) Setelah bermain futsal rutin pada weekend dengan kawan-kawan sepermainan dan kakak angkatan, agendaku hari ini menghadiri rapat ke Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE-UII). Isi rapatnya mengenai teknis dan peraturan baru mengenai materi (bahan ajar) yang akan kami sampaikan kepada mahasiswa, khusus dalam bidang keagamaan (ta'lim) nanti. Inilah rencana rapat yang kami terima di grup Whatsapp.
Sepulang dari bermain futsal dan mandi, aku bergegas berangkat ke FE UII. Kebetulan acaranya sudah dimulai dan sedikit terlambat. Aku menyimak materi dengan khusyuk, dan di tengah-tengah materi ada chat Whastapp yang masuk. Isinya kurang lebih seperti ini "Kang, bisa menemani saya ke rumahnya Pak Syarif Zubaidah" karena kebetulan sedang ada kegiatan, maka langsung saja dibalas. "Sedang di FE ini, insya Allah bada dzuhur selesai.."
Rencananya, setelah selesai rapat mau langsung pulang. Tetapi karena hujan, maka diundur sampai shalat dzuhur di sana (di masjid FE). Setelah dirasa agak reda, maka perjalanan pulang pun dilanjut. Ndilalah, ternyata Pak Syarif juga masih ada acara di luar, sehingga acara kunjungan yang akan kami sepakati, jadi diundur beberapa jam.
Perjalanan Awal
Kami janjian untuk makan di Pojok, warung Bu Ning. Warung pojok, begitulah biasa kami menamainya. Entah kenapa kami sering menyebutnya "pojok", mungkin pojok dari dusun Dabag kali ya? tapi kami juga tidak tahu persisnya sih. Atau mungkin juga hanya persepsi kami, letaknya warung itu terkesan posisinya ada di pojok.
Di warung ini sayur dan "ikan" ayamnya yang khas. Selain murah, bisa nambah juga. Selain itu juga, ada yang paling khas dari warung ini yaitu istilah "sepaleh nopo setunggal" (artinya, nasi yang dipesan itu setengah apa satu porsi). Sepaleh dan setunggal ini yang menentukan harga, walaupun sebetulnya mungkin cuma beda beberapa rupiah saja.
Setelah makan, kami lanjut ke UIN Sunan Kalijaga. Ada beberapa kitab yang harus dibeli, untuk keperluan adiknya Samsul yang baru saja mondok di dekat Pesantren Pandanaran. Aku yang tadinya tidak berniat membeli sesuatu, lantaran karena tertarik beberapa judul buku, akhirnya beberapa buku diangkut diangkut juga.
Setelah dirasa cukup dan sudah masuk waktu sholat Ashar, kami menuju Masjid yang ada di area Universitas Isilam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka). Nama yang tertera di depannya bukan masjid ya, tapi "Laboratorium Agama" jadi wajar tempat itu sering jadi bahan candaan. "Ke laboratorium biasanya kan mau praktikum, tapi ini mau shalat" ujungnya, shalat dengan praktikum jadi sulit dibedakan kalau kita berada di UIN suka. Gak percaya? Coba saja!
Awal Peristiwa
Kejadian uniknya tuh setelah selesai dari menunaikan shalat ashar di masjid UIN. Bisa jadi, karena buah dari candaan di atas tadi, sehingga kena batunya deh. Atau mungkin karena sudah dianggap tidak layak pakai, jadi yang mengambilnya punya pikran "Gak akan ada yang nyariin kalau diambil juga.."
Ketika hendak pulang dan tiba di ujung teras, si sandal sudah tidak di tempat semula, atau dengan kata lain telah hilang.Ketika itu masih berpikir positif, dan beranggapan mungkin dipakai orang untuk berwudhu. Akan tetapi sepanjang ujung teras ditelusuri tetap saja tak ada. Akhirnya dengan terpaksa tak bersandal alias nyeker, untung sandalnya sudah jelek. Tapi, kok bisa ya? Padahal jauh dari kata layak pakai. Tapi masih saja bisa hilang.
Pulang dengan tanpa bersandal bagiku biasa saja, dan tidak merisaukan kehilanagn tersebut. Tetapi rupanya Samul yang merasa tidak enak dan sedikit "memaksa" untuk memakainkan sandal. Dengan kata lain, ia membelikan sandal baru.
Di atas motor dan dalam posisi perjalanan ke rumah sang dosen, pikiranku masih merasa heran dengan kejadian tadi. Heran bukan karena memikirkan sandalnya, tetapi "kok bisa hilang" ini ya menajdi titik fokusku. Apa lantaran saking jeleknya, akhirnya orang beranggapan bahwa sandal ini mungkin sudah tak bertuan? Atau ada motif lain lagi yang masih belum bisa di ungkap dan dikupas secara tuntas?
Sepertinnya banyak faktor yang bisa mempengaruhi kejadian ini. bagaimana kalau kejadian ini diangkat menjadi sebuah judul tugas akhir dengan judul "Tingkat Kesadaran Mahasiswa Yogyakarta dalam Bersandal di Masjid" atau jika diangkat dan untuk dimuat di Koran bisa pakai judul "Kasus Ghasab di Masjid Kampus Jogja merajalela" atau lain sebagainya. Sah-sah saja bukan?
Tak berapa lama, akhirnya kami sudah sampai di rumah Pak Syarif Zubaidah. Rupanya kami sudah disambut oleh Mas Najib dan Pak Syarif. Disuguhi kurma dan beberapa panganan manis yang katanya oleh-oleh dari Arab. Banyak hal yang dibicarakan, termasuk tentang peluang pembukaan calon dosen baru. Lalu tes PNS, kursus, dan lain-lain. Karena sebagai orang yang dimintai menemani, tugasku ya hanya menjadi pendengar yang baik.
Setelah dirasa cukup dan yang punya rumah juga sudah terpuaskan hasratnya serta dapat berbagai masukan dari Samsul, kami pun akhirnya pamit. Sekitar pukul lima sore, kami meninggalkan rumah salah satu dosen senior di hukum Islam FIAI UII.
Kembali Hilang
Fakta uniknya, sandal yang berwarna hitam itu sudah beberapa kali menghilang (entah dighasab oleh teman sesama asrama atau oleh para jamaah yang sekedar numpang untuk shalat) sudah berhari-hari sandal hilang, tetapi suatu hari sandal itu kembali juga. Tentu senang banget bisa kembali lagi. Lalu ketika kubawa ke pengajian di salah satu masjid, sandal itu sepertinya dipakai oleh jamaah lain, beberapa hari ketika kukunjungi masjid itu, sandalnya kembali kutemui.
Hingga suatu malam, kubawa ke sebuah acara shalawat rutin yang kuikuti. Awalnya sandal itu masih ada tepat di depanku, tetapi dalam sekejap tiba-tiba raib. Entahlah siapa yang memakainya. Di sana orang banyak berlalu-lalang dan tak sempat kuamati satu persatu. Pekan depannya sandal itu ada, tepat di posisi semula seperti pekan lalu kuletakan. Karena aku sudah mengikhalaskannya, aku hanya sekilas menatap dan melupakannya.
Kehilangan sandal yang unik ini jelas membuat sesuatu hal yang menarik. Akan selalu kukenang.
__