Pagi-pagi, roda depan sepeda fixie yang kubawa, mengalami kebocoran. Ini akibat terkena paku payung di depan Perpustakaan terpadu (pusat). Tepatnya di jalan Kaliurang kilo meter 14,5.
Sepulang dari perpus, dicarilah tempat tambal ban. Sayangnya, semua tempat tambal menolak, bahkan berdalih tidak bisa. Padahal, jika mau mengakali caranya cukup mudah.
Bahkan ada tempat tambal yang seolah sinis menolak. Meski ekspresi ucapannya datar, dari gestur dan matanya tampak jelas bahwa itu sebuah penolakan yang cukup kasar (tidak perihatin, apalagi punya rasa peduli sama sekali).
Ketika kusadar dapat perilaku yang demikian, Aku malah nambah ngeyel. Beberapa kali kutunjukan sikap nyinyir pada pemilik tambal ban itu. Bahkan, aku nekat mengisi ban sendiri dengan menunjukan cara mengakalinya.
“Disini gak bisa nambal ya?” Tanyaku berulang-ulang.
Karena kesal, pemilik tambal ban menjawab, “Lha terus kalau mompanya gimana? Gimana mau tahu letak yang bocornya, kalau dipompa ajah gak bisa?”
“Kan bisa diakali…” timpalku. Sambil kucontohkan caranya.
Tetap saja ia tak bergeming. Akhirnya karena sadar, hanya mencari mereka yang tulus mau membantu. Apa mereka kira, aku gak mampu bayar tambalannya itu? Jika demikian, sungguh sangat naif!
Akhirnya setelah sekian lama, kudapati tempat tambal ban. Sang bapak ngakunya gak pernah nambal ban sepeda. Tapi kuyakinkan bahwa tugasnya cuma nambal ban dan urusan lain (bongkar, mompa dan sebagainya) itu tugasku.
Bapaknya mau menerima usulku tadi. Tapi pas kulihat dengan maksud untuk mencoba, ternyata peralatannya sangat terbatas. Ujungnya, tak jadi nambal di tempat itu dan memilih untuk mencari yang lain.
Untungnya, sudah punya satu tempat tambal yang sreg. Sayangnya, sang pemilik bengkel sudah berangkat kerja. Di rumah hanya ada anak dan istrinya. Di rumahnya sangat sederhana itulah kutemukan keramahan, bahkan lebih wecome dari tambal ban yang sebelum-sebelumnya itu.
Di tengah kemajuan zaman yang cukup memprihatinkan seperti ini, rupanya mereka hanya berorientasi mencari keuntungan materi belaka. Bukan malah menjalin relasi. Padahal, berbisnis tanpa dikuatkan dengan ikatan relasi, sangat rapuh. Tidak lama juga nanti runtuh.
Ingat, relasi yang dibangun bukan relasi abal-abal alias palsu, tetapi relasi yang genuin dan murni. Tempat yang jadi langgananku, kutemui keakraban. Mereka tak segan-segan untuk mengobrol, bahkan mereka tak segan menolong.
Pernah, waktu itu sudah malam hari. Ban belakang bocor. Datang ke tempat tambal yang kini jadi langganan (tapi waktu itu baru pertama kali). Bengkelnya juga sudah tutup malah. Eh, Ibunya mau buka dan bersedia alatnya kupakai untuk nambal (pengerjaan semua kulakukan sendiri, alat-alat dari dari bengkel tersebut).
Karena kebetulan gak bawa uang, ibunya dengan santai. “Sudah, nanti kapan-kapan saja. Kalau lewat ke sini kagi Mas…” Sumpah ini bikin terharu dan inilah sikap dan sifat yang hampir telah langka kita temui di kehidupan zaman sekarang ini. Mereka inilah jelas orang baik.
___
--------------------
Sepulang dari perpus, dicarilah tempat tambal ban. Sayangnya, semua tempat tambal menolak, bahkan berdalih tidak bisa. Padahal, jika mau mengakali caranya cukup mudah.
Bahkan ada tempat tambal yang seolah sinis menolak. Meski ekspresi ucapannya datar, dari gestur dan matanya tampak jelas bahwa itu sebuah penolakan yang cukup kasar (tidak perihatin, apalagi punya rasa peduli sama sekali).
Ketika kusadar dapat perilaku yang demikian, Aku malah nambah ngeyel. Beberapa kali kutunjukan sikap nyinyir pada pemilik tambal ban itu. Bahkan, aku nekat mengisi ban sendiri dengan menunjukan cara mengakalinya.
“Disini gak bisa nambal ya?” Tanyaku berulang-ulang.
Karena kesal, pemilik tambal ban menjawab, “Lha terus kalau mompanya gimana? Gimana mau tahu letak yang bocornya, kalau dipompa ajah gak bisa?”
“Kan bisa diakali…” timpalku. Sambil kucontohkan caranya.
Tetap saja ia tak bergeming. Akhirnya karena sadar, hanya mencari mereka yang tulus mau membantu. Apa mereka kira, aku gak mampu bayar tambalannya itu? Jika demikian, sungguh sangat naif!
Akhirnya setelah sekian lama, kudapati tempat tambal ban. Sang bapak ngakunya gak pernah nambal ban sepeda. Tapi kuyakinkan bahwa tugasnya cuma nambal ban dan urusan lain (bongkar, mompa dan sebagainya) itu tugasku.
Bapaknya mau menerima usulku tadi. Tapi pas kulihat dengan maksud untuk mencoba, ternyata peralatannya sangat terbatas. Ujungnya, tak jadi nambal di tempat itu dan memilih untuk mencari yang lain.
Untungnya, sudah punya satu tempat tambal yang sreg. Sayangnya, sang pemilik bengkel sudah berangkat kerja. Di rumah hanya ada anak dan istrinya. Di rumahnya sangat sederhana itulah kutemukan keramahan, bahkan lebih wecome dari tambal ban yang sebelum-sebelumnya itu.
Di tengah kemajuan zaman yang cukup memprihatinkan seperti ini, rupanya mereka hanya berorientasi mencari keuntungan materi belaka. Bukan malah menjalin relasi. Padahal, berbisnis tanpa dikuatkan dengan ikatan relasi, sangat rapuh. Tidak lama juga nanti runtuh.
Ingat, relasi yang dibangun bukan relasi abal-abal alias palsu, tetapi relasi yang genuin dan murni. Tempat yang jadi langgananku, kutemui keakraban. Mereka tak segan-segan untuk mengobrol, bahkan mereka tak segan menolong.
Pernah, waktu itu sudah malam hari. Ban belakang bocor. Datang ke tempat tambal yang kini jadi langganan (tapi waktu itu baru pertama kali). Bengkelnya juga sudah tutup malah. Eh, Ibunya mau buka dan bersedia alatnya kupakai untuk nambal (pengerjaan semua kulakukan sendiri, alat-alat dari dari bengkel tersebut).
Karena kebetulan gak bawa uang, ibunya dengan santai. “Sudah, nanti kapan-kapan saja. Kalau lewat ke sini kagi Mas…” Sumpah ini bikin terharu dan inilah sikap dan sifat yang hampir telah langka kita temui di kehidupan zaman sekarang ini. Mereka inilah jelas orang baik.
___
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.