Tidak mengherankan jika dunia laut dan pelayaran sangat akrab bagi Hamzah Fansuri dan karenanya tidak mengherankan pula apabila tamsil-tamsil berkenaan dengan laut dan dunia pelayaran sangat dominan dalam syair-syairnya. Begitu juga penggunaan tamsil ’dagang’ dan ’anak dagang’.

Namun tamsil laut yang digunakan penyair dalam syair-syairnya, sebagaimana juga tamsil-tamsil kosmologis atau kealaman yang lain, digunakan bukan semata-mata untuk menggambarkan ramainya dunia pelayaran dan sekadar menggambarkan luasnya laut yang mengelilingi kepaulauan Nusantara. 

Tetapi juga sebagai perumpamaan bahwa hidup manusia ibarat perahu yang melakukan pelayaran jauh menuju bandar tauhid. Selain itu tamsil laut juga digunakan untuk menggambarkan ajaran ontologi sufi mengenai tatanan wujud dan penciptaan alam semesta.

Tamsil laut dalam syair-syair Hamzah Fansuri dapat dikelompokkan menjadi tiga, berdasarkan motif pemakaiannya.

Pertama, tamsil laut digunakan untuk menggambarkan perjalanan seorang ahli makrifat menuju Yang Satu. Untuk maksud ini digunakan tamsil-tamsil berkenaan dunia pelayaran atau alam di atas permukaan laun seperti perahu, geladak kapal atau markab, ombak garang, batu karang, bandar tauhid dan lain-lain.

Susunan ajaran agama yang terdiri dari syariat, tariqat, haqiqat dan makrifat diberi tamsil bagian-bagian atau isi kapal seperti lunas, papan, muatan dan laba yang diperoleh apabila muatan berhasil dibawa berlayar menuju bandar tujuan. Tamsil kayu dan perahu juga digunakan untuk memberi kias terhadap ’diri jasmani’ manusia yang oleh jiwanya dibawa berlayar menuju ’diri ruhani’nya. Contoh yang paling indah ialah syair berikut:

Jika hendak engkau menjeling sawang
Ingat-ingat akan ujung karang
Jabat kemudi jangan kau mamang
Supaya betul ke bandar datang


Anak mu`allim tahu akan jalan

Da’im berlayar di laut nyaman
Markabmu tiada berpapan
Olehnya itu tiada berlawan

(Ik. XVIII MS, Jak. Mal. 83)

Kedua, tamsil laut digunakan untuk menggambarkan kewujudan dunia sebagai pertemuan dua lautan (bahrayn), yaitu lautan ada dan tiada, lautan wujud dan ketidakwujudan.

Ketiga, tamsil laut (bahr) digunakan untuk memaparkan ajaran metafisika sufi, khususnya tentang tatanan wujud dan kenyataan secara simbolik, yang dari atas ke bawah terdiri dari: alam hahut (alam ke-Dia-an, ketika Tuhan masih merupakan Dzat Tunggal yang tidak dikenal), alam lahut (alam ketuhanan, ketika Dia turun ke alam penciptaan, menciptakan alam semesta dan makhluq-makhluq di dalamnya, dan Dia dikenal sebagai Allah), alam jabarut (alam keruhanian), alam malakut (alam kejiwaan) dan alam nasut(alam jasmani).Laut merupakan tamsil bagi keesaan Wujud Tuhan, ketakterhinggaan pengetatahuan dan kemutlakan Dzat-Nya yang maha tinggi.

Perumpamaan atau penamsilan Dzat Tuhan dengan lautan dan manifestasi ilmu-Nya dengan ombak ini dapat dipahami apabila kita merujuk kepada ajaran ontologi sufi tentang tatanan wujud, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn `Arabi dan Hamzah Fansuri.

Dalam bab V kitabnya Syarab al-`Asyiqin Hamzah Fansuri menerangkan tahapan-tahapan tajalli, yaitu pemaujudan ilmu-Nya dari alam gaib (alam lahut) menjadi kenyataan di alam penampakan (alam nasut).

Dalam konsepnya itu Hamzah Fansruri menjelaskan bahwa sebelum dunia ini dicipta Dzat Tuhan merupakan sesuatu yang tidak dikenal, yang disebutnya sebagai la ta`ayyun, artinya tidak nyata, tidak maujud dalam dunia penampakan.

Tetapi begitu penciptaan bermula, maka Tuhan mulai ber-ta`ayyun, menyatakan Diri-Nya melalui perantaraan penciptaan makhluq-makhluq yang tidak lain merupakan manifestasi dari perbendaharaan ilmu-Nya yang tersembunyi. Pada tapan ini Tuhan mulai dikenal sebagai Pencipta.

Ta’ayyun dibagi ke dalam empat 

Pertama, Ta`ayyun awwal. Kenyataan Tuhan dalam peringkat awal, yang keberadaan-Nya mengandung empat aspek ontologis: ’Ilm (Pengetahuan), Wujud (Ada), Syuhud (Melihat, Menyaksikan) dan Nur (Cahaya). Dengan adanya pengetahuan maka Tuhan itu Maha Mengetahui (`Alim) dan menjadi Yang Diketahui (Ma`lum).

Karena dia adalah Wujud mutlak maka dengan sendirinya Dia adalah Yang Mengada, Maujud, Yang Mengadakan dan Yang Ada. Karena Dia adalah Cahaya (di atas segala cahaya, al-Qur’an) maka Dia dengan sendiri-Nya adalah Yang Menerangkan (dengan Cahaya-Nya), Yang Diteangkan oleh Cahaya-Nya dan karenanya Dia pula yang memberi petunjuk.

Kedua, ta`ayyun tsani, tahap penampakan ilmu-Nya yang kedua, disebut juga sebagaita`ayyun ma`lum. Pada tahapan ini Ilmu-Nya mulai menyatakan diri dalam bentuk yang diketahui (ma`lum), yaitu sebagai esensi segala sesuatu (a`yan tsabitah), hakikat segala sesuatu (al-haqiqat al-ashya’), bentuk yang dikenal (suwari al-`ilmiah) dan sebagai ruh yang terpaut pada ada-Nya (ruh idafi). Dalam bentuk ruh manusia disebut al-haqiqat al-muhammadiyah (hakikat yang terpuji) dan nur muhammad (cahaya yang terpuji).

Ketiga, ta`ayyun tsalits, manifestasi ilmu Tuhan dalam tahapan ini ialah ruh manusia dan makhluq-makhluq.

Keempat, ta`ayyun rabi` dan khamis. Menifestasi ilmu Tuhan pada tahapan ini, mahluk-mahluk diciptakan dalam bentuk jasmani. Penciptaan tidak berkesudahan dan tidak berhingga. Menurut Hamzah Fansuri sebagai Dzat Maha Tinggi yang ilmu-Nya luas tidak terhingga, Tuhan meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan penglihatan-Nya.

Dari syair ini dapat dicatat

Pertama, puisi merupakan jalan berpindah ke alam ketuhanan atau transendental.Tujuan penyair ialah memandang yang gaib (musyahadah) melalui jalan tauhid dan makrifat. Dengan demikian puisi dapat dikatakan sebagai sarana transendensi atau pembebasan jiwa dari kungkungan alam kebendaan (tajarrud).

Kedua, puisi yang indah doitulis setelah penyair melakukan penyucian diri, yaitu membetulkan iktiqad.

Ketiga, puisi juga merupakan perluasan zikir terhadap Allah (zikr Allah), yang dengan cara demikian seseorang mencapai musyahadah.Makrifat dan pencerahan kalbu adalah bentuk pengalaman estetis yang tinggi, yang hanya dapat dicapai melalu jalan zikr Allah.

Keempat, penyair juga menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan dan hakikat Tauhid hanya bisa diaksikan di ’medan yang qadim’, yaitu di alam metafisik atau ketuhanan.

Medan yang qadim dalam jiwa manusia mengambil tempat dalam kalbu. Para sufi menyatakan bahwa kalbu merupakan rahasia Tuhan (sirr Allah) dalam arti dalam kalbulah manusia bisa berdialog dengan Yang Maha Gaib. Itulah sebabnya dalam proses penyucian diri, kalbu mesti dikosongkan dari yang selain Tuhan.

Kelima, penyair mengharap pembaca menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang sejati. Perjalanan ruhani seorang ahli suluk di sini diamsilkan sebagai pelayaran perahu dan perlengkapannya, sedangkan perahu alam tamsil tubuh manusia yang dibekali perlengkapan ruhani.

Syair Amir Hamzah

Bukan hanya sajak Hamzah Fansuri saja, tetapi sajak-sajak Amir  Hamzah  bukan  sajak percintaan  biasa. Kepenyairannya mempunyai  pertalian  dengan tradisi sastra Sufi di Alam Melayu Nusantara. Kepenyairannya   jelas  revelan  bagi   kita   sekarang. Terutama    apabila   kita   kaitkan   dengan berkembangnya kecenderungan akan sastra keagamaan yang berakar dalam tradisi sastra  Melayu Nusantara. 

Amir Hamzah  memberi  teladan  yang benar.  Dia  telah berhasil menunjukkan  bahwa  sastra  Melayu berkembang  pada  zaman  keemasannya  karena  didasarkan  pada sistem  sastra  yang universal. Sistem tersebut  tidak  hanya berkaitan dengan masalah estetik sastra atau seni, tetapi juga berhubungan erat pandangan  dunia  (worldview)  yang   juga  mendasari  perkembangan  bahasa,  pemikiran intelektual dan kebudayaan Melayu Nusantara secara keseluruhan.

Persoalannya bagi  penulis-penulis  sekarang ini ialah bagaimana  menggali lebih   jauh   sistem   sastra   yang universal   itu   dan mentransformasikan  ke  dalam iklim kehidupan Alaf  ke-3  yang penuh dengan tantangan.



--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme