Berawal dari rasa rindu dan ingin mengunjungi (Ziaroh) dua tempat yang pernah saya jumpai beberapa tahun silam. Tapi sayang, waktu itu sudah lupa, kapan terakhir pernah ke sana. Alhamdulilah, pada kesempatan kali ini, sambil berlibur juga, akhirnya niat itu ke sampaian juga.
Cuaca yang begitu cerah menemani perjalanan saya pagi itu. Perjalanan itu dimulai dengan menumpang adik yang hendak berangkat ke sekolah untuk menunaikan tugasnya sebagai tata usaha.
Karena jalur kami beda, maka saya turun di pertigaan untuk menunggu angkutan perkotaan (angkot) yang akan menuju ke pasar. Tak berapa lama angkot berwarna hitam kusam itu tiba. Angkot itu masih kosong, begitu berhenti dengan langkah santai saya pun memasuki angkot yang tak berpenumpang itu. Bapak tua yang sejak tadi mengelus-elus kacamata hitam di warung itu, ternyata menaiki angkot yang saya tumpangi.
Pak tua itu memilih duduk di depan, menemani sang sopir ngobrol. Kelihatannya mereka cukup akrab dan saling mengenal. Dari gaya pembicaraan dan obrolan yang mereka lontarkan terkesan seperti orang yang sudah sama-sama kenal. Meski laju angkot itu pelan, tapi rasanya cepat sekali. Tak terasa para penumpang pun sudah mulai memenuhi tempat duduk.
Ada ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar, anak sekolah, bahkan ada seorang ibu-ibu yang membawa tangkai pohon salak yang lengkap dengan duri-durinya. Katanya untuk penangkal tikus yang sering menggerogoti kabel-kabel yang ada di rumahnya. Sebelum jadi penangkal tikus, eh malah jadi penangkal penumpang duluan. Karena dibungkus dengan karung yang lumayan tebal, duri pohon salak ternyata tidak terasa, meskipun beberapa kali bersentuhan dengan badan ini.
Setelah melakukan perjalanan hampir satu jam perjalanan, akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Saya disambut dengan anak tangga dan harus melepas sandal jika ingin sampai ke tempat ziarah dan dekat dengan kuburan sang Syeikh yang namanya sudah mashur di daerah Cikadueun.
Tepat pukul 09.00 pagi, saya tiba di Makam Mansyurudin Cikadueun. Karena masih pagi, suasana masjid sepi dan hanya ada dua orang peziarah yang saya temukan di dalam. Setelah keliling dan melihat-lihat suasana, saya pun duduk sebentar dan membacakan doa untuk ahli kubur yang ada di sana.
Selesai berdoa, saya sempat mengabadikan tempat air yang dimintai oleh para pengunjung untuk dibawa pulang. Katanya air itu berkhasiat dan membawa berkah, katanya. Mitos air yang diambil dari sebuah gentong yang berukuran kecil ini memiliki daya tarik tersendiri. Dari gambar yang saya ambil banyak botol-botol bekas minuman yang berjejer dalam kondisi kosong.
Kuburan yang di pagar dengan besi dan batu nisan ditutup dengan kain kafan ialah kuburan Syeikh Mansyurudin Cikadueun. Tempat ziaroh yang menyatu dengan area mesjid dan di kelilingi pohon besar itu masih dalam rehabilitasi.
Dua pohon besar itu ialah pohon angsana, kalau saya tidak salah. Satu pohon berada di sebelah utara dan satunya lagi berada di sebelah selatan. Setelah dirasa cukup berkeliling, saya pun meninggalkan tempat yang dulu dijadikan sebagai dakwahnya auliaullah Syaikh Mansyurudin Cikadueun.
Terkait cerita yang simpangsiur apakah Syaikh Maulana Mansyurudin itu Sultan Haji atau bukan, bagi saya tak begitu jadi masalah. Siapapun beliau, semoga Allah memberikan kemulianNya di tempat yang nan jauh di sana.
Cuaca yang begitu cerah menemani perjalanan saya pagi itu. Perjalanan itu dimulai dengan menumpang adik yang hendak berangkat ke sekolah untuk menunaikan tugasnya sebagai tata usaha.
Karena jalur kami beda, maka saya turun di pertigaan untuk menunggu angkutan perkotaan (angkot) yang akan menuju ke pasar. Tak berapa lama angkot berwarna hitam kusam itu tiba. Angkot itu masih kosong, begitu berhenti dengan langkah santai saya pun memasuki angkot yang tak berpenumpang itu. Bapak tua yang sejak tadi mengelus-elus kacamata hitam di warung itu, ternyata menaiki angkot yang saya tumpangi.
Pak tua itu memilih duduk di depan, menemani sang sopir ngobrol. Kelihatannya mereka cukup akrab dan saling mengenal. Dari gaya pembicaraan dan obrolan yang mereka lontarkan terkesan seperti orang yang sudah sama-sama kenal. Meski laju angkot itu pelan, tapi rasanya cepat sekali. Tak terasa para penumpang pun sudah mulai memenuhi tempat duduk.
Ada ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar, anak sekolah, bahkan ada seorang ibu-ibu yang membawa tangkai pohon salak yang lengkap dengan duri-durinya. Katanya untuk penangkal tikus yang sering menggerogoti kabel-kabel yang ada di rumahnya. Sebelum jadi penangkal tikus, eh malah jadi penangkal penumpang duluan. Karena dibungkus dengan karung yang lumayan tebal, duri pohon salak ternyata tidak terasa, meskipun beberapa kali bersentuhan dengan badan ini.
Setelah melakukan perjalanan hampir satu jam perjalanan, akhirnya saya tiba di tempat tujuan. Saya disambut dengan anak tangga dan harus melepas sandal jika ingin sampai ke tempat ziarah dan dekat dengan kuburan sang Syeikh yang namanya sudah mashur di daerah Cikadueun.
Tepat pukul 09.00 pagi, saya tiba di Makam Mansyurudin Cikadueun. Karena masih pagi, suasana masjid sepi dan hanya ada dua orang peziarah yang saya temukan di dalam. Setelah keliling dan melihat-lihat suasana, saya pun duduk sebentar dan membacakan doa untuk ahli kubur yang ada di sana.
Selesai berdoa, saya sempat mengabadikan tempat air yang dimintai oleh para pengunjung untuk dibawa pulang. Katanya air itu berkhasiat dan membawa berkah, katanya. Mitos air yang diambil dari sebuah gentong yang berukuran kecil ini memiliki daya tarik tersendiri. Dari gambar yang saya ambil banyak botol-botol bekas minuman yang berjejer dalam kondisi kosong.
Kuburan yang di pagar dengan besi dan batu nisan ditutup dengan kain kafan ialah kuburan Syeikh Mansyurudin Cikadueun. Tempat ziaroh yang menyatu dengan area mesjid dan di kelilingi pohon besar itu masih dalam rehabilitasi.
Dua pohon besar itu ialah pohon angsana, kalau saya tidak salah. Satu pohon berada di sebelah utara dan satunya lagi berada di sebelah selatan. Setelah dirasa cukup berkeliling, saya pun meninggalkan tempat yang dulu dijadikan sebagai dakwahnya auliaullah Syaikh Mansyurudin Cikadueun.
Terkait cerita yang simpangsiur apakah Syaikh Maulana Mansyurudin itu Sultan Haji atau bukan, bagi saya tak begitu jadi masalah. Siapapun beliau, semoga Allah memberikan kemulianNya di tempat yang nan jauh di sana.