Paska pertarungan Indonesia melawan Malaysia di ajang final seagames 2011 meninggalkan kekecewaan yang amat mendalam. Pendukung Indonesia menjadi lemas dan tak berdaya ketika harus menerima kekalahan ketika permainan tak mampu merubah kedudukan sampai dengan waktu tambahan dan akhirnya adu pinalti.

Semua mata yang menyaksikan pasukan u-23, berlinang air mata dan berbinar ketika penjaga gawang Kurnia Meiga menepis tendangan dari kapten Malaysia, tetapi bola masih tetap masuk ke gawang. Akhirnya Malaysia pun merayakan kemenangan mereka dan Indonesia harus puas dengan meraih perak atau kata lain harus puas dengan posisi kedua.

“lebih baik kalah dengan Vietnam atau dengan Thailand daripada harus kalah oleh musuh bebuyutan” kata pendukung fanatic Indonesia. Ada yang menambahkan pula “walaupun menjadi juara umum di seagames, tapi tak puas rasanya tanpa diikuti dengan kemenangan pasukan u-23.”

Garuda harus takluk, dan mengakui kekalahan kepada harimau. Final seagames 2011 merupakan bukti nyata. Tetapi, menang ataupun kalah ya itulah pertandingan, karena dalam pertandingan harus ada kalah dan ada yang menang. Untuk yang kalah ada potensi untuk menjadi pemenang sedangkan untuk yang menang siap-siap dikalahkan, atau berubah posisi menjadi kalah. Menang dan kalah merupakan sifat yang berubah-ubah, tergantung bagaimana mempertahankannya.

Saya kira Indonesia belum siap untuk menjadi urutan pertama, tetapi Indonesia lebih memilih posisi tengah-tengah. Paslanya kalau diatas akan mudah terjatuh, tapi jika di bawah akan tertinggal. Indonesia tidak perlu jadi yang pertama jika nantinya hanya akan membawa kesombongan dan menjadi arogan. Hal ini bisa kita saksikan, ketika Indonesia melawan Vietnam di semifinal dan menang telak 2-0, media masa maupun media cetak kemudian banyak menggunakan bahasa-bahasa arogan misalnya dengan kata-kata “Indonesia menggasak Vietnam, menekuk, menggilas, dan lain sebagainya” padahal hal ini tak perlu.

Mungkin Karena inilah Indonesia tidak menempati peringkat pertama, rasionalnya adalah “sebelum jadi juara sudah sombong, apalagi kalau jadi juara??” bahkan istilah seperti ini bisa saja muncul jika Indonesia menjadi jura, “Malaysia bertekuk lutut atas Indonesia.” Padahal ini tak perlu.

Pemberitaan seharusnya menggunakan bahasa yang lugas tegas dan tidak provokatif terhadap pembacanya. Karena hal tersebut merubah mindset dan mampu mempengaruhi pembaca, hal ini berbahaya jika diterima dengan mentah-mentah oleh masyarakat awam. Kemudian terjadilah konflik dan kerusakan, kerusuhan dan lain sebgainya.

saya kira pemilihan kata dalam pembuatan berita di media yang cetak maupun media audio-visual harus betul-betul baik. Karena hal tersebut berdampak kepada pendengar dan pembaca untuk bertindak dan bersikap di masyarakat. Bangunan inilah yang seharusanya diperbaiki dan menjdai evaluasi bagi kawan-kawan pembuat berita.

Saya apresiasi dengan KPI komisi penyiaran Indonesia yang meng-cut kata-kata kotor dalam film, hal ini juga dapat diterapkan dalam media cetak. Justru inilah yang harus dilakukan. Ketika seseorang membaca, kemudian masuk kedalamnya dan meyakininya, maka bacaan itulah yang melahirkan sebuah tindakan atau sikap bagi si pembaca. Provokatif dalam tulisan lebih mengena dan sangat kuat, sehingga sulit untuk merubahnya.

Sebetulnya kekalahan bukanlah akhir dari segalanya. Kekalahan adalah awal dari sebuah perjuanagn untuk meraih sebuah kemenangan. Degan kekalahan itulah kita memiliki tolak ukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan diri. Justru mengalah itu lebih mulia dan tidak sombong, daripada menang kemudian malah menjadi sombong.

mahasiswa UII-Yogyakarta


--------------------

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme