Suasana pesawahan yang sejuk dan pemandangan pegunungan yang begitu indah kala sore hari menjadi pemikat siapa saja yang mengunjunginya. Pedesaan, itulah kehidupan di mana kami dibesarkan dan kami dididik.

Suasana kedamaian dan ketentraman begitu terasa. Ditambah lagi dengan udaranya yang sejuk, membuat siapapun merasa nyaman ketika tinggal di desa.

Gotong royong dan saling membantu begitu tampak dan masih menjadi budaya di desa, sehingga hubungan kekeluargaan dengan tetangga begitu kuat. Ditambah lagi kegiatan orang-orang desa lebih banyak di sawah dan di kebun.

Penghidupan orang desa dari cocok tanam, meski hasilnya tidak bisa menghasilkan uang, asal bisa menghidupi dan mengisi perut, rasanya sudah lebih dari cukup. Bagi orang desa, kekayaan harta bukan lah segalanya, tetapi kekayaan hati dan kebersamaan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.

Cara mendidik orang desa biasanya keras, tapi itu bukan semata-mata karena tidak sayang dan cinta. Tetapi itulah bukti rasa sayang dan cinta yang sesungguhnya. Orang tua  mereka, tidak ingin anak-anaknya kelak menjadi orang bodoh, terutama tidak bisa mengaji. Dari didikan yang “keras” itulah (kami) anak desa lahir dan menjadi seperti sekarang.

Aku adalah akumulasi dari masa lalu….” Demikian kalimat yang menjadi kunci dalam bukunya Chairul Tanjung, Aku Anak Singkong.

***

Siang itu begitu terik, jalan aspal itu terasa panas meski beralaskan sepatu. Apa lagi tanpa alas kaki. Tampak dari kejauah dua bocah yang baru pulang sekolah dasar (SD), berlarian. Mereka bergegas untuk pulang ke rumah. Dua anak kembar itu ternyata sudah dinanti tugas besar dari orang tuanya; menggembala kambing.

Suara kambing yang mengembik sudah terdengar jelas, dan itu menandakan bahwa mereka sudah sangat lapar untuk mengisi perutnya. Mereka bergegas mengganti pakaian sekolah dan langsung mengeluarkannya dari kandang.

Pada saat pintu itu dibuka, satu bocah sudah berjaga di salah satu kebun milik orang lain, supaya kambing-kambing itu tidak masuk ke kebun yang ada tanaman singkong dan lain sebagainya. Sebab kalau masuk ke kebun mereka bisa kena marah Si pemilik kebun.

Padahal, kedua bocah itu belum sempat makan siang. Sarapan pagi pun tidak. Tapi bagi mereka, hal ini sudah biasa. Toh mereka akan mengganjal perutnya dengan buah-buahan yang ada di hutan.

Kambing yang mereka punya, bukan jenis kambing yang menyukai rerumputan, dan tidak terlalu suka dengan rerumputan. Tetapi lebih menyukai dedaunan dan pucuk daun yang muda. Sehingga untuk menggembala harus ke hutan.

Dari sana mereka terbiasa menggembala kambing ke hutan, bahkan ke kuburan. Kuburan di perkampungan tentu berbeda dengan di kota. Di kampung begitu seram dan banyak pohon besar-besar. Sehingga kalau menggembala ke kuburan, siang hari pun terasa seperti sudah memasuki waktu maghrib

***


--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme