Sore hari sekitar pukul 16.30 aku sudah tiba di stasiun Lempuyangan. Sambil menunggu kereta dari Surabaya aku pun menjamak-qashar shalat terlebih dahulu. Tepat di ujung stasiun Lempuyangan berdiri sebuah mushola mungil yang aku gunakan untuk menjalankan perintah agama tersebut.

Setelah menunaikan shalat, aku pun kembali ke kursi tempat dimana para penumpang menunggu kedatangan kereta yang ditunggunya. Tak butuh waktu lama, setelah aku memesan dua buah roti untuk mengganjal isi perut, kereta pun tiba. Aku berjalan mendekati rel, sambil berjalan ku masukan tangan kiri ke dalam saku celana warna hitam untuk mengambil sepotong kertas.

Pak kalau gerbong dua sebelah mana ya….” Sambil ku tunjukan tiket kereta ke petugas yang berada di sana. “Kalau yang ini sebelah sana Mas..” demikian jawabnya singkat, dan dengan sigap matanya memantau terus para calon penumpang yang berjalan di pinggir peron.

Aku berjalan menempati posisi yang ditunjukan oleh bapak tadi. Setelah kereta berhenti, ternyata gerbong yang aku naiki tepat berhenti di depanku. Setelah para penumpang dari Surabaya turun, aku langsung masuk dan mencari tempat duduk yang tertera di tiket. Alhamdulilah masih kosong, hanya ada seorang ibu yang duduk menghadap ke jendela dengan bungkusan karung kecil di bawah kakinya.

Disepanjang perjalanan kami sempatkan ngobrol. Bahkan untuk menghilangkan ke jenuhan, aku sesekali membaca buku yang sudah dipersiapkan sebelum berngkat tadi. Karena kondisi yang lumayan melelahkan, membaca buku ternyata malah membuat mata menjadi lelah dan mengantuk. Sesekali ku pandangi pepohonan yang berada di sekitar, dan beberapa rumah-rumah penduduk.

Sepanjang perjalanan, tak banyak yang bisa aku lakukan, selain membaca dan menikmati dua roti yang ku beli di stasiun Lempuyangan. Ketika waktu malam tiba, ku gunakan untuk beristirahat meski tidur dengan hanya duduk dan bersandar ke kursi kereta. Inilah fasilitas yang ada di kereta, dan menurutku sudah lebih cari cukup nyaman. Ketimbang naik bis yang serba terbatas dan membosankan.

***

Sekitar pukul 02.15 dini hari kereta tiba di Stasiun Pasar Senen - Jakarta. Karena belum ada kendaraan, maka ku putuskan untuk menunggu hingga pagi hari. Setelah lama menunggu, akhirnya aku putuskan untuk jalan-jalan diluar stasiun Pasar Senen saja. Tempat yang pertama aku kunjungi ialah tempat cemilan. Di toko yang buka 24 jam itu aku membeli sebotol minuman dan camilan (kripik) dari bahan dasar singkong.

Setelah mencari tempat yang strategis untuk duduk, akhirnya ku buka bungkusan itu dan ku nikmati sambil mengamati kendaraan yang melintas pada malam hari di kota Jakarta. Jalan peremaptan itu rasanya tak pernah sepi, dan di ujung jalan sana tampak ada seorang manusia yang dengan nyenyak tidur pulas tanpa terganggu dengan suara bising kendaraan.

Setelah beberapa lama, tiba-tiba ada bapak-bapak yang menunggu kendaraan. Katanya mau berangkat kerja. Setelah ku tanya-tanya dan kami ngbrol bareng ternyata bapak tadi adalah supir pribadi, dan majikannya ialah orang korea. Bapak itu berasal dari jawa tengah dan punya anak yang kerja di mall, paparnya.

Ini sama bos diminta mengantarkan ke tempat biasa main golf. Jawaban itu yang keluar dari pengakuan bapak setengah baya. Kalau tidak dipancing-pancing pasti banyak diam dan terkesan hambar obrolan kami. SBY juga sering main golfnya di sana dek, bahkan kalo yang mahal-mahal hari minggu rame, tapi kalo yang murah sepi.

Biasanya sekali main berapa duit pak..?” tanyaku penasaran. “Ya tergantung dek… soalnya si Bos bisa maen sama teman-temannya. Paling kalau selesai main si bos bayar kadang 10 juta, 15 bahkan 25 juta.” Paparnya sambil menghisap rokok yang diapit jarinya sejak tadi.

Setelah beberapa lama ngobrol, Bapak tadi bergegas berdiri “Maaf ya dek, angkutan saya sudah ada…” ucap bapak itu singkat, dengan sigap tangannya mengambil tas lusuh yang ia letakkan di bawah kaki kirinya. Demikian pertemuan kami dini hari.

Kini aku duduk sendirian, hanya suara kendaraan yang menemani ku duduk di depan gedung dua lantai yang menjual berbagai macam piala. Dari pagar besi tepat aku duduk terlihat jelas piala-piala itu berjejer di dalam took. Dari dsain dan bentuknya pasti harganya mahal. Semua rasa penasaran ku terhadap toko itu buyar, ketika suara lantunan ayat suci alquran begitu jelas terdengar dari masjid di seberang jalan,

Aku pun bergegas mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat subuh. Setelah shalat subuh berjamaah, akupun melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Tanah Abang.



--------------------

2 komentar:

Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.

Amir Hamzah Copyright © 2009 - 2015 | Template : Yo Koffee | Design By : Designcart | Modif By : amirisme