Jauh sebelum Rene Descartes mencetuskan jargon cogito ergo sum atau “Aku berpikir maka Aku ada”, Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa pusat eksistensi manusia yang menentukan kualitas kediriannya adalah Qalb. Acuan Descartes kepada aktivitas berpikir (cogito) sebagai penanda keberadaannya, sebenaranya telah membatasi potensi kecerdasan manusia pada wilayah kecerdasan intelektual semata.
Definisi cerdas dan berpikir pada sosok manusia hanya dibatasi oleh bekerjanya simpul-simpul syaraf di otak berdasarkan premis-premis logika yang dipostulatkan sebagai kebenaran. Sementara manusia memiliki potensi qolb untuk merenung, menyadari, menghayati, memilih mana yang baik dan buruk, bahkan menembus hijab kediriannya sendiri.
Sir Prancis Galton pelopor studi IQ (Intelligence Quotient) dalam bukunya Heredity Genius (1869), yang disempurnakan oleh Alferd Binet dan Simon dengan mengukur kemampuan pengetahuan praktis, daya ingat, daya nalar, pembendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Teori ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang memperkenalkan EQ (Emotional Quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1999) dengan menunjukan penelitian bahwa orang yang memiliki iq tinggi tika menjamim hidupnya akan sukses. Tetapi orang yang memiliki eq memegang peran kunci disana.
Asumsi Daniel dikuatkan oleh Dannah Zohar yang memplopori munculnya Kecerdasan Spiritual atau SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence (2000).
Di Indonesia ada sosok Ary Ginanjar yang memulai dari rukun islam dan rukun iman maka lahirlah ESQ (emotional spiritual quotient). Sedangkan Toto Tasmara menggagas kecerdasan ruhaniyah (transcendental intellegence) yang bertumpu pada ajaran cinta. Cinta di sini bukan komoditas, tetapi sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan.
Jika kita mengupas kecerdasan dari kaca mata agama, sudah sangat jelas, bahwa kecerdasan yang hakiki adalah kecerdasan yang tidak hanya berpusat kepada daya pikir atau otak, melainkan lebih kepada gerak hati atau dalam bahasa di atas disebut dengan qalb. Kecerdasan otak hanya berfungsi dalam urusan kerja otak, tetapi secara aplikasinya semua yang ada di dunia ini lebih kepada bagaimana kita mengendalikan hati.
Hati yang baik akan membawa ke arah yang baik pula, tetapi otak yang baik belum bisa demikian. Sebab cara kerja otak yang tidak melihatkan hati itu hanyalah nafsu, dan datangnya bisa dari bisikan syetan. Tetapi jika melibatkan hati tentu akan disaring terlebih dahulu, apakah baik atau buruk. Nafsu yang tidak dibentengi oleh pengendali tentu akan menjadi liar dan buas, sehingga akan mengakibatkan pemiliknya tidak dapat mengontrol diri bahkan bisa mengakibatkan kerusakan moral. Jika sudah demikian, perbuatan yang demikian akan terus diulangi dan dinikmati.
--------------------
Definisi cerdas dan berpikir pada sosok manusia hanya dibatasi oleh bekerjanya simpul-simpul syaraf di otak berdasarkan premis-premis logika yang dipostulatkan sebagai kebenaran. Sementara manusia memiliki potensi qolb untuk merenung, menyadari, menghayati, memilih mana yang baik dan buruk, bahkan menembus hijab kediriannya sendiri.
Sir Prancis Galton pelopor studi IQ (Intelligence Quotient) dalam bukunya Heredity Genius (1869), yang disempurnakan oleh Alferd Binet dan Simon dengan mengukur kemampuan pengetahuan praktis, daya ingat, daya nalar, pembendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Teori ini dipatahkan oleh Daniel Goleman yang memperkenalkan EQ (Emotional Quotient) dalam bukunya Working with Emotional Intelligence (1999) dengan menunjukan penelitian bahwa orang yang memiliki iq tinggi tika menjamim hidupnya akan sukses. Tetapi orang yang memiliki eq memegang peran kunci disana.
Asumsi Daniel dikuatkan oleh Dannah Zohar yang memplopori munculnya Kecerdasan Spiritual atau SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence (2000).
Di Indonesia ada sosok Ary Ginanjar yang memulai dari rukun islam dan rukun iman maka lahirlah ESQ (emotional spiritual quotient). Sedangkan Toto Tasmara menggagas kecerdasan ruhaniyah (transcendental intellegence) yang bertumpu pada ajaran cinta. Cinta di sini bukan komoditas, tetapi sebuah kepedulian yang sangat kuat terhadap moral dan kemanusiaan.
Jika kita mengupas kecerdasan dari kaca mata agama, sudah sangat jelas, bahwa kecerdasan yang hakiki adalah kecerdasan yang tidak hanya berpusat kepada daya pikir atau otak, melainkan lebih kepada gerak hati atau dalam bahasa di atas disebut dengan qalb. Kecerdasan otak hanya berfungsi dalam urusan kerja otak, tetapi secara aplikasinya semua yang ada di dunia ini lebih kepada bagaimana kita mengendalikan hati.
Hati yang baik akan membawa ke arah yang baik pula, tetapi otak yang baik belum bisa demikian. Sebab cara kerja otak yang tidak melihatkan hati itu hanyalah nafsu, dan datangnya bisa dari bisikan syetan. Tetapi jika melibatkan hati tentu akan disaring terlebih dahulu, apakah baik atau buruk. Nafsu yang tidak dibentengi oleh pengendali tentu akan menjadi liar dan buas, sehingga akan mengakibatkan pemiliknya tidak dapat mengontrol diri bahkan bisa mengakibatkan kerusakan moral. Jika sudah demikian, perbuatan yang demikian akan terus diulangi dan dinikmati.
*dikutip dari buku Pak Hamdani.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.