Ningsih, itulah namanya. Jika ditanya, aku lupa kapan perjuampaan awal itu terjadi. Intinya itu, dalam dirinya aku melihat ada sesuatu yang lain. Sesuatu itu bernama masa depan. Kalau di film Dancing Jhodi "Tujh me rabbi ta hei..." Kata Sahru Khan. "Aku melihat tuhan dalam matamu..."
Iya, masa depan. Karena seolah-olah aku menemukan penggalan puzzle yang selama ini kucari. Potongan itu rasanya terlengkapi, kala aku berkenalan dengan dirinya. Sejak itu pula, hatiku merasa 'klik' dengannya.
Pepatah arab mengatakan, "Awalul mathar bil qatri, wa awwalul hubb bi annadhar..." Permulaan hujan itu gerimis, dan permulaan cinta dari awal pandangan. Begitu juga dengan semua ini, tidak mungkin hadir begitu saja tanpa sabab-musababnya. Kalau dalam bahasa gombal itu ada ungkapan seperti ini "Dari mana datangnya lintah? Dari sawah turun ke kali.." Silakan lanjutkan sendiri lanjutannya ya!
Aku yakin, yang namanya Ningsih itupun kini sedang merasakan kebingungan. Sama seperti apa yang kini kurasakan pula. Bingung harus bagaimana dan bersikap apa. Ujung-ujungnya ya menggantung. Padahal saling mengakui ada "rasa" itu dalam hati kami masing-masing. Hanya saja enggan mengutarakan lebih dulu.
Mengenalnya hanya butuh hitungan beberapa menit saja. Tapi butuh ribuan tahun untuk dapat melupakan dirinya. Terutama mengikhlaskannya bersama deburan ombak air laut di pantai Carita. Membiarkannya pergi bersama bintang di kegelapan malam. Melepasnya pergi bersama sayap-sayap burung di angkasa. Inilah intinya.
Bahkan kubiarkan angin membawa cintaku pergi. Pergi dari dirimu bersama lenyapnya lembayung di ujung barat. Hingga berganti menjadi kelap-kelip bintang di malam hari. Hati ini menjadi hampa, lenggang tak ada si doi dambaan hati.
Jika, tuhan berkehendak atas irdahnya, maka aku sebagai manusia biasa hanya pasrah menerimanya. Dengan penuh kesadaran menerima proses atas apa yang disekenariokan-Nya, inilah kata guruku ketika menerjemahkan arti kata sabar. "Terus bersabar dalam kesabaran..."
(Ditulis, 10/12/17)
Klik ( part 2)
Ningsih tak tahu entah kini dimana keberadaannya. Bayangnya lenyap, seolah ditelan kegelapan malam. Meski dalam nurani ini kuyakini, ia masih sering ngintip; mengamatiku secara diam-diam. Entahlah. Apa yang ia inginkan ku tak mengerti.
Pernah suatu ketika, ada seseorang yang begitu mirip denganya. Tetapi setelah coba kusapa dari dekat, rupanya ia bukanlah Ningsih yang selama ini kucari. Semoga ia tetap sehat dan diberikan kelapangan dalam hidupnya. Tidak seperti aku yang tidak jelas arahnya ini.
Mungkin ia sudah bahagia dengan seseorang yang telah membersamainya. Selamat berbahagia wahai kekasih impian, yang tak mampu kudekap dalam alam kenyataan. Semoga kutemukan Ningsih lain yang tidak sekedar khayalan. Lebih nyata tentunya; dalam kehidupan!
Lebih indah dari bulan purnama, lebih cantik dari bidadari surga, lebih jelita dari ratunya sang kaisar kerajaan. Tapi ia lebih sederhana dan mirip Fatimah Azzahra binti Rasulullah SAW atau kedewasaan dan ketegarannya mirip sang Ibunda, yaitu Khadijah.
Pendek kata, ia yang selalu bersabar dan memiliki pribadi pembelajar.
(Ditulis, 11/12/18)
Klik (part 3)
Di persimpangan jalan Sudirman ketika itu kita dipertemukan oleh keadaan. Dan terakhir kita dipertemukan di Terminal Rambutan. Apa sudah lupa? akan rute-rute perjalanan yang dulu ditempuh! Entah mengapa hatimu begitu mudahnya dibagi pada ia yang menawarkan kepalsuan.
Padahal, sabar sedikit saja. Toh, menunggu itu sesuatu yang sangat sebentar, jika dibandingkan dengan kebersamaan dalam mengarungi mahligai kehidupan. Bila dengan yang sekecil ini saja sudah tergadaikan, lantas bagaimana dengan masalah-masalah di dalam pe-rumahtangga-an?
****
Ningsih, jika pilihan itu baik bagimu. Tak masalah bagiku. Tak usahlah kau hiraukan tentang perasaanku, bagiku sendiri cukup jelas, kebahagiaanmu itu yang terpenting. Bahagiamu juga bahagiaku. Melihat dirimu bahagia, sudah lebih daripada cukup. Membiarkanmu bahagia, itulah tujuanku.
Ningsih, kuharap hubungan kita akan tetap baik dan tetap seperti sedia kala. Tak akan kurang sama sekali. Bila perlu, kita anggap jadi keluarga, supaya silaturahim tak akan pernah putus untuk selamanya. Ada yang lebih berharga untuk dijalin, dan itu bisa membawa kita ke surga-Nya.
"Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir (kiamat), maka sambunglah tali silaturahmi" demikian sabda Rasulullah saw.
___
Klik (part 4)
Entah kenapa, ada dorongan yang amat kuat dari dalam hati untuk mengunjungi rumahmu. Setelah sekian banyaknya pekerjaan yang numpuk itu terselesaikan, barulah aku bisa meluangkan waktu. Ahad sore bada ashar ku berangkat.
Biasanya lewat selatan, kali ini kucoba lewat sisi timur. Sekalian nyoba jalan baru. Setelah sekian lama minta bantuan perbaikan jalan dari tahun 2010, baru terlaksana sekarang. Lewat sisi timur cukup jauh, bisa kena empat puluh lima menitan kira-kira.
Beberapa perkampungan kulewati, pemandangan pesawahan dan para penggembala kambing dan kerbau kerap kusaksikan di pinggir jalan. Owh iya kendaraan yang pulang 'ngabesan' juga ada dua atau tiga kalau tidak salah kudapati berpapasan. Hingga kejanggalan itu muncul tanpa kusadari.
Tak kuhiraukan berjejernya motor dan mobil di depan kampungmu yang diapit sawah. Dalam batinku "Ada yang nikah sepertinya, rame banget jalannya..." aku tiba di dekat rumahmu, dan tepat di gang yang biasa itu kuparkirkan motor.
Alangkah terkejut dan kagetnya, kala kulihat tenda dan kursi-kursi itu tepat di rumahmu. Dekorasi panggung dan depan rumah disulap jadi super mewah nan elegan. Para tamu undangan sedang lahap makan dan berlalu lalang.
Andai saja mentalku lemah, mungkin jatuh pingsan. Tapi sebagai seorang kesatria, pantang mundur meski gejolak di dada bagaikan gemuruh petir yang siap dikelurkan dan menghantam apa saja di bumi. Ada amarah seperti letupan lahar gunung merapi, menyala seperti besi terbakar.
Situasi tetap kujaga, tetap tenang dan tenang. Ku tetap mendekati rumahmu dan coba masuk ke keramaian. Tiba-tiba ada lelaki seumuranku ya langsung memeluk dan matanya merah seperti akan mengeluarkan air mata. "Kamu datang juga... Maafkan kami ya..." Sambil mempererat pelukannya.
Tatapanku masih fokus ke papan kecil di atas panggung yang ada tulisannya. Di hiruf depan tampak jelas huruf 'N' tapi huruf selanjutnya terhalang tamu undangan yang sedang mengambil hidangan di perasmanan.
Ketika tulisan itu sudah terlihat dengan jelas tanpa ada halangan. Eh, kumandang adzan subuh membangunkanku. Alhamdulillahiladzi ahyana badama amatanaa wa ilaihi annusur...
____
*Mohon maaf jika ada kesamaan dalam penulisan nama dan tempat.