Hampir di beberapa
kampung yang saya temui kebanyakan yang ditunjuk sebagai imam sholat ialah yang
lebih sepuh (tua) umurnya. Padahal jika kita kembali kepada ilmu fiqih,
usia itu menjadi patokan yang terakhir. Ada beberapa kriteria yang lain sebelum
itu, sebagaimana disampaikan oleh Ustad Hasyim.
Sebaiknya yang
pertama dituntut menjadi imam adalah yang afshah (lebih fasih)
bacaannya. Makhorijul hurufnya dan ilmu tajwidnya.
Setelah itu jika
sama-sama fasih maka yang dipilih ialah yang lebih wara‘ (hati-hati). Dalam
artian lebih menghindari sesuatu yang subhat (meninggalkan sesuatu yang
tidak jelas hukumnya, antara halal dan haram)
Jika sama-sama wara’
maka yang dicari ialah yang pengetahuan
ilmu fiqihnya lebh banyak. Jika sama-sama ahli dalam ilmu fiqihnya maka cara terakhir
yang digunakan, yaitu siapa yang lebih tua umurnya. Itulah yang dipilih. Berarti
sudah jelas, yang diutamakan ialah kefasihannya.
Tetapi kenyataan
dan kebanyakan di masyarakat itu terbalik. Bacaannya mau belepotan, ngerti ilmu
fiqih nggak, tidak menjaga diri, yag penting umurnya sudah tua. Inilah penyimpangan
yang bagi saya sangat besar, jika dibiarkan dapat merusak ibadah sholat.
Saya pernah punya
pengalaman. Waktu itu bulan ramadhan, saya ikut salah seorang teman dan
menginap di kampungnya (namanya dirahasiakan) selama sepuluh hari. Selama itu
pula saya ikut sholat berjamaah di mesjid yang diimami oleh sesepuh kampung
yang bacaannya saya katakan sangat buruk (makharij al-huruf dan tajwidnya
kebanyakan rusak).
Saya sudah
berusaha ngobrol dengan kelurga dan kerabat, bahkan ustadz. Kata mereka sangat sulit
untuk menasehati dan merubahnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mampir di blog sederhana ini. Jangan lupa, biar cakep dan cantik silakan ninggalin satu atau dua patah kata. Apa pun komennya boleh, yang penting sopan dan tdk promosi.